Enam Gubernur, Satu Pantulan: Mengukur Kepuasan Warga Jawa usai Seribu Hari Kerja

Oleh Lian Lubis, Pengamat Isu-isu Sosial
Istilah "puas" selalu membawa ingatan saya kepada Tukul Arwana dalam acara "Empat Mata". Dia kerap mengeja ulang kata "puas" sebanyak tiga kali usai memberikan pendapat, pernyataan, atau menjawab diskusi, diikuti dengan tertawaan penontonnya. Cara Tukul Arwana meneriakkannya ini melalui televisi menciptakan interpretasi ganda atau ketidaktentuan yang membuat lelucon komedinya menjadi semakin lucu dan mempesona.
Peristiwa serupa juga terjadi saat saya menemui istilah Indeks Kepuasan Masyarakat. Pikiran saya dipenuhi dengan interpretasi beragam. Bisa jadi ada sejumlah pertanyaan yang mengganggu: kepuasan siapa ini? Tidakkah kita setuju bahwa tingkat kepuasan cenderung bersifat subyektif dan sulit untuk dinyatakan secara numerik? Jika persepsinya memang perlu dievaluasi, hal tersebut akan lebih bersifat kualitatif sehingga mustahil dirumuskan sebagai angka atau presentase tertentu.
Di bawah sistem demokrasi yang saat ini labil, hasil polling tentang tingkat kepuasan rakyat dapat dianalogikan sebagai sebuah termometer sosial; meski begitu, tidak selalu memberikan gambaran yang tepat. Hasilnya bisa dipengaruhi oleh persepsi publik, ikatan emosi, atau bahkan upaya-upaya kampanye dari relawan melalui platform-media digital. Terkadang kebijakan penting justru kurang mendapat sambutan positif, sebaliknya apa yang digemari umum belum tentu memiliki manfaat substansial bagi pembangunan daerah tersebut. Oleh karena itu, tantangan bagi seorang Gubernur adalah bagaimana menyenangkan penduduk setempat tanpa mengorbankan prinsip kepemimpinan mereka sendiri—apakah harus menjadi pemimpin yang berani tetapi kontroversial ataukah pilihannya akan lebih cenderung pada popularitas namun meragukan integritas?
Biarkan saya sementara mengesampingkan pertanyaan-pertanyaan itu untuk sekarang. Saya akan mencoba merumuskan pandangan dan penilaian pribadi tentang ketiga enam gubernur tersebut, tentunya berdasarkan perspektif yang cukup bersifat subjektif; memakai kaca mata diri sendiri sebagai acuan.
Jika politik merupakan sebuah panggung, maka para gubernur di Pulau Jawa menjadi pemain utama dalam pertunjukan tersebut. Mulai dari bagian barat sampai ke timur pulau, keenam orang itu memegang kendali atas jalannya pemerintahan di wilayah dengan jumlah penduduk tertinggi di negara ini. Akan tetapi, panggung politik tidak sekadar melibatkan peran yang diperankan saja, namun juga berkaitan erat dengan audiensnya—yakni rakyat—yang ikut serta memberikan penilaian; mereka bisa merayakan kemenangan dengan aplaus hangat atau justru menyuarakan kemarahan lewat sorakan keras "UUU" secara berkelanjutan.
Baru-baru ini, Indikator Politik Indonesia mengeluarkan indeks tingkat kepuasan publik terhadap keenam gubernur itu. Survei ini dilaksanakan antara tanggal 12 hingga 19 Mei 2025 dan mencakup partisipasi warga dari seluruh enam propinsi di Pulau Jawa. Laporan artikel ini didasari oleh temuan dalam survei tersebut. Nilainya lumayan memukau, namun justru hal lain yang tersimpan dibalik data-data itu yang semakin membuat penasaran.
Indeks tersebut menampilkan data statistik berupa angka-angka kuantitatif, mulai dari yang sangat tinggi hingga yang mendekati nihil di paling bawah tabel survei. Seperti halnya dalam dunia politik, angka hanya merupakan lapisan tipis saja. Yang sesungguhnya diperlukan adalah untuk menggali lebih jauh apa yang ada di belakangnya: cerita, keputusan, serta cara masyarakat benar-benar merasakannya dalam detil kehidupan sehari-hari.
Saya memulai dari Jawa Barat, tempat Gubernur Dedi Mulyadi mendapatkan tingkat kepuasan publik tertinggi yaitu 94,7%. Sungguh luar biasa! Kepopulerannya berawal dari metode interaksinya yang dekat dengan rakyat serta penggunaan media sosial secara optimal. Meski demikian, dibalik popularitasnya itu ada pertanyaan besar: Apakah capaian ini benar-benar menggambarkan performa kerjanya atau hanya karena daya tarik kepribadian saja? Ketika melihat tindakan-tindakannya, banyak hal yang diajalankannya tidak selalu berasal dari pemikiran kolektif tim birokrasinya. Oleh karena itu, perlu adanya langkah cepat untuk mengevaluasi dan menyempurnakan keputusan-keputusan strategis agar dapat memberi landasan hukum dan dukungan anggaran bagi setiap gerakan yang telah ia jalankan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X mendapatkan tingkat kepuasan sebanyak 83,8 persen. Kestabilan serta kelangsungan pemerintahannya merupakan faktor utama yang memberikan nilai positif dari publik, mengindikasikan bahwa konsistensi jauh lebih diapresiasikan dibandingkan dengan terobosan-terobosan dalam kebijakan.
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, mencatat tingkat kepuasan sebesar 75,3%. Berbagai program sosialnya, khususnya dalam hal pendidikan dan pengembangan wanita, memperoleh sambutan positif dari publik. Akan tetapi, pertanyaannya adalah: Apakah dampak program-program tersebut bersifat fundamental atau hanya sekadar menjangkau permukaan saja? Misal seperti aktivitas makannya yang sering dilakukan dan kemudian dishare melalui platform media sosial.
Di Jawa Tengah, Gubernur Ahmad Luthfi mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 62,5%. Sebagai sosok baru di posisi tersebut, dia harus berjuang untuk membina kepercayaan masyarakat serta mencapai prestasi nyata yang dapat dilihat oleh publik.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 60%. Sebagai figur nasional, pandangan tentang dirinya kerapkali sulit dibedakan antara penilaian atas performa pemerintahan wilayah dan persepsi mengenai kontribusi nasionalnya. Meski demikian, penting untuk diketahui bahwa dia merupakan politisi berpengalaman dengan latar belakang birokrat, pembuat kebijakan publik, serta intelektual yang tak dapat diremehkan kemampuannya. Walaupun beberapa dari keputusan strategisnya mungkin belum populer dan upaya komunikasinya melalui platform-media sosial masih kurang intensif, hal ini menyebabkan banyak pekerjaan yang dilakukan menjadi kurang terlihat oleh mata publik.
Terakhir, Gubernur Banten, Andra Soni, yang mendapatkan tingkat kepuasan sebesar 50,8%. Dia menginterpretasikan hasil survei tersebut sebagai titik tolak untuk membangun fondasi pengembangan dalam jangka waktu lima tahun kedepan. Menyadarinya, ia menjelaskan bahwa waktunya hanya 100 hari tidak bisa dijadikan standar penilaian atas kesuksesannya, tetapi lebih kepada permulaan sebuah perjalanan yang panjang.
Akhirnya, kita sampai pada satu pertanyaan kunci: apa sebenarnya yang diukur oleh indeks kepuasan masyarakat terhadap gubernur? Apakah itu evaluasi rasional atas kebijakan? Ataukah hanya ekspresi afeksi, seperti penilaian terhadap artis idola?
Enam kepala daerah, enam pendekatan, enam taktik. Tetapi satu refleksi: rakyatnya. Melalui kaca tersebut, terlihat bahwa kebahagiaan tak sekadar berasal dari apa yang diserahkan, tetapi juga bagaimana hal itu dirasakan, didiskusikan, dan dimengerti. Antara aturan dan pandangan, kita masih mengejar makna sebenarnya dari sosok pemimpin ideal, suatu konsep yang kerap menjadi kabur karena citra diri yang dijinakkan lewat berbagai metode.
Disclaimer: Kolom adalah komitmen Pikiran Rakyat Memuat pandangan mengenai berbagai aspek. Artikel ini tidak merupakan hasil jurnalisme, tetapi pendapat pribadi sang penulis.