Dwifungsi ABRI: Apakah Ini Tugas Sejarah, Kekuatan yang Hilang dari Pemimpin Sipil, atau Hasrat Militer Mengambil Alih Kuasa?

Selama era Orde Baru, tentara menjadi aktor utama yang memegang kendali atas skenario politik di Indonesia. Dalam kurun waktu selama 32 tahun, konsep Dwifungsi ABRI digunakan oleh Soeharto sebagai dasar untuk mempertahankan kedudukannya. Apa alasan dibalik ketidakmampuan militer untuk meninggalkan arena politik?

Setelah jatunya Soeharto dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998, kekuasaan militer Indonesia dalam arena politik langsung hancur.

Kritik serta ejekan terhadap militer, ditambah dengan tekanan dari dalam organisasi mereka, mendorong ABRI (kemudian dikenal sebagai TNI) untuk melakukan perbaikan.

Pada saat tersebut, ABRI memulai proses untuk melepaskan diri dari perannya yang ganda, dengan menyerahkan wewenang politiknya dan berhenti menjadikan Golkar sebagai "anak kandung"-nya.

Akan tetapi, 27 tahun setelah itu, pada hari Kamis, 20 Maret 2025 di pagi hari, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui perubahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia saat sidang pleno.

Ini mengundang banyak pertanyaan:

Apakah memang sukar bagi tentara untuk melepaskan diri dari urusan politik karena elitesipil yang kurang mampu?

Kenapa kekuatan politik militer dulu dihormati sekali sampai seolah-olah enggan untuk mengakui nilai-nilai dari kedaulatan sipil?

Bisakah keinginan militernya untuk memegang kendali tetap bertahan, walaupun mereka seharusnya telah menyerap pelajaran dari masa lalu Soeharto?

Pada laporan kali ini, BBC News Indonesia bertujuan mengeksplorasi asal-usul mengapa pasukan militer merasa memiliki hak untuk terlibat dalam masalah-masalah politik.

Kami pula menggarisbawahi cara rezim Orde Baru membangun dasar kekuasaananya melalui interpretasi kembali doktrin Dwifungsi ABRI.

Untuk mengakhiri diskusi ini, kami melakukan wawancara dengan seorang pakar sosial militer.

Berikut liputannya.

Apa asal-usul militer campur tangan dalam urusan pemerintahan sipil?

1945-1949

Meskipun ABRI memegang posisi politik yang kuat selama era Orde Baru, partisipasi militer dalam kehidupan Indonesia setidaknya sama tua dengan kelahiran Republik ini sendiri, menurut analis militer Salim Said.

Lebih jauh, menurut Salim, dasar dari hubungan antara komponen sipil dan militer di Indonesia telah ditanam kuat selama tahap awal sejarah Republik ini.

"Diatas dasar tersebut selanjutnya dibangun apa yang sekarang dikenal sebagai doktrin Dwifungsi," ungkap Salim Said dalam artikel itu. TNI Dalam Bidang Politik , yang diterbitkan jurnal Prisma , Juni 1987.

Pada saat tersebut, sesuai dengan pendapat Budi Irawanto yang terdapat di bukunya Film, Ideologi dan Militer (cetakan kedua Juli 2017), kegiatan politik dan militer saling berinteraksi dan tak dapat dipisah.

"Kaburnya batasan antara tindakan politik dan militer ini menciptakan pandangan bahwa militer merupakan sebuah kekuatan politik," ungkap Budi.

Sebab, tulis Budi dalam bukunya, perjuangan kemerdekaan itu sendiri memiliki sifat politik sekaligus militer.

Menurut Salim Said, salah satu alasan mengapa militer ikut serta sejak awal adalah karena kelemahan institusi sipil pada masa tersebut.

"Lainnya termasuk 'tentara membangun identitas mereka sendiri; perilaku politik Jenderal Besar Sudirman yang terus menerus berupaya untuk menjamin kemandirian angkatan bersenjata dari pemerintah; dan juga, pengalaman angkatan bersenjata saat mengelola pemerintahan militer pada era perang gerilya tahun 1948-1949,'" paparan Salim.

Kejadian yang kerap dipakai sebagai indikasi ketidakmampuan para pemimpin sipil adalah masa ketika Sukarno, Hatta serta para pemimpin sipil lainnya tetap berada di Yogyakarta selama Agresi Belanda Kedua tahun 1949.

Saat keputusan tersebut diambil, Sudirman menentukan posisinya dengan memilih gaya gerilya.

"Persepsi Sudirman selanjutnya menjadi inspirasi bagi para pemimpin militer bahwa pasukan kebersenjataan mampu memiliki pendirian sendiri, yang dapat bertentangan dengan pemerintahan," ungkap pakar sociologi militer Najib Azca di dalam buku tersebut. Hegemoni Tentara (cetakan kedua, 2024).

Peristiwa tersebut, ditulis Najib dengan merujuk pada pengamat militer Bilveer Singh dalam sebuah bukunya, dijelaskan begitu Dwifungsi ABRI: Awal Mula, Penerapan, serta Dampaknya terhadap Keamanan dan Perkembangan (1995), "membuktikan bahwa militer dapat menjalankan perannya baik sebagai grup militer maupun aktor politik."

Namun, tidak semua orang setuju jika disebutkan bahwa keberadaan tentara dalam urusan sipil semata-mata didasari oleh ketidakmampuan para elit pemimpin sipil.

Untuk George McTurnan Kahin, seorang ahli Indonesia asal negeri tersebut seperti disebutkan oleh Najib, keputusan para pemimpin sipil untuk tetap berada di Yogyakarta selama Agresi Militer Belanda Kedua adalah "langkah cerdas".

"Keduanya [Sukarno-Hatta] berpendapat bahwa mereka tidak menerima cukup proteksi dari segi militer..." ujar Kahin saat diwawancarai oleh Majalah Tiras (5 Oktober 1995).

Menurut analis militer Andi Widjajanto di artikel tersebut Nasution, Jalur Tengah, serta Politik Militer (Tempo, 17 Agustus 2007), sejauh ini penelitian ilmiah mengenai peran tentara dalam politik di Indonesia telah ditinjau dari dua sudut pandang.

Pertama , menafsirkannya sebagai dampak dari kegagalan para politisi sipil dalam mengatur negera.

Kedua , militer Indonesia telah dari awal kemunculannya memiliki aspirasi politikal terkait kekuatan kekuasaan.

1952

Tindakan parlementer yang diinterpretasikan sebagai intervensi dalam masalah internal Tentara Darat (AD), serta peningkatan tensi konflik internal AD, menjadi penyebab terjadinya peristiwa tanggal 17 Oktober 1952.

Kejadian tersebut terjadi saat Indonesia menerapkan demokrasi liberal atau parlementer—sistem yang meniru model demokrasi dari barat.

Ratusan individu, dipimpin oleh ABRI, melakukan protes besar-besaran pada tanggal 17 Oktober 1952. Bahkan beberapa artileri ditujukan langsung ke Istana Merdeka. Pokoknya, tujuan utama mereka adalah meminta presiden Sukarno untuk membubarkan lembaga legislatif tersebut.

Protes tersebut terjadi saat Kepala Staf Angkatan Darat KSAD AH Nasution bersama rekannya dalam militer berunding dengan Soekarno. Mereka menyampaikan permintaan untuk membatalkan Majelis Legislatif melalui sebuah petisi kepada Presiden. Namun, SoekARNo tidak setuju dengan tuntutan mereka.

Insiden tersebut kemudian memicu perdebatan panas di antara pendukung dan penentang, terutama setelah munculnya dokumen yang mengklaim bahwa Nasution sepertinya "mengancam" Soekarno dengan bahaya kudeta.

Salinan dokumen tersebut selanjutnya menjadi yang paling besar di antara lainnya. Beragam respons muncul dari para kepala angkatan darat di wilayah-wilayah. Terdapat beberapa insiden penangangan kepercayaan oleh pemimpin-pemimpin angkatan darat lokal akibat dokumen itu.

Akhirnya, Nasution dipecat dari posisinya dua bulan setelah kejadian itu. Ia pernah menghadapi proses hukum dan menyangkal konten dokumen tersebut.

Pada buku Pejuang dan Prajurit (1991), Nugroho Notosusanto mengkaji kejadian 17 Oktober 1952.

Nugroho menyebutkan bahwa insiden tersebut adalah pertarungan antara pihak yang ingin memiliki kedaulatan TNI-AD dan hal ini pada akhirnya tumbuh menjadi peran sosio-politis bagi ABRI.

Kehebatan ini, lanjutnya, bertentangan dengan "yang mendukung kekuasaan sipil di atas militer."

1958

Konsep Dwifungsi dikemukakan pertamakali oleh AH Nasution. ketika menempati posisi sebagai KSAD pada saat memberikan pidato spontan di perayaan ulang tahun Akademi Militer Magelang, tanggal 12 November 1958.

Secara keseluruhan, Nasution mengungkapkan bahwa ABRI tidak boleh dipandang sebagai instrumen sipil serupa dengan negara-negara Barat. Akan tetapi, juga bukan semacam rezim militer yang menduduki posisi dominan layaknya di Amerika Latin.

"Kritik Nasution tertumpu pada individu-individu yang menjadi tokoh di kalangan tentara, bukan pada institusi atau perannya sebagai keseluruhan," ungkap Salim Said dalam prakata bukunya tersebut. Reformasi Angkatan Bersenjata: Struktur, Keahlian, serta Reorganisasi Militer di tengah Masyarakat (2013) oleh Ahmad Yani Basuki.

Pada bulan yang sama, yaitu November, Presiden Sukarno melalui Keputusan Dewan Nasional menempatkan angkatan bersenjata sebagai salah satu kelompok politik dalam kategorianya sebagai Golongan Karya.

"Oleh karena itu, militer Indonesia secara resmi menjadi kekuatan politik yang sah," menambahkan Salim Said.

Konsep Dwifungsi sebenarnya tidak familiar. Menurut Profesor Rektor Akademi Hukum Militer Prof. Djokosutono, ahli dalam bidang hukum dan pemerintahan, ide tersebut dapat diartikan sebagai 'solusi tengah'.

Barulah ungkapan Dwifungsi lahir dengan tidak sengaja dari Nasution saat menyampaikan pidato tentang prinsip-prinsip pertempuran bagi seluruh personel polisi di Watukosek, Porong, Jatim pada tahun 1961.

1959

Implementasi dari fungsi sosial politik ABRI baru menjadi begitu mencolok setelah adanya penetapan kondisi negara dalam suasana siaga perang (SOB) di tahun 1959.

Peristiwa ini terjadi sesudah Presiden Sukarno merilis dekretnya pada tanggal 5 Juli 1959. Dari titik itu, sistem yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpin mulai dijalankan.

Mengingat kondisi tersebut, tentara memperoleh area operasi yang luas.

"Institusi ini [ABRI] kian solid dan makin cakap untuk memperluas kepentingan politik mereka melebihi periode-periode sebelumnya," ungkap Harold Crouch di dalam bukunya. Tentara dan Politik di Indonesia (1999).

Daniel S Lev mengatakan bahwa otoritas yang signifikan telah diserahkan kepada para pemimpin militernya di wilayah-wilayah, sehingga pemerintahan sipil menjadi subordinat terhadap struktur militer tersebut.

Nasution mendirikan 16 Komando Daerah Militer (Kodam). Kehadiran unit-unit militer ini disertai oleh Doktrin Perang Kawasan yang menuntut Tentara Darat untuk menciptakan Kodim, Koramil, serta (mulai tahun 1963) Babinsa.

Selama periode SOB, Nasution benar-benar mengambil beberapa langkah politik. Angkatan bersenjata pun mulai menembus ke dalam institusi resmi. Beberapa perwira militer kemudian mulai masuk ke posisi penting tersebut.

Mereka pun ikut merambah dunia politik melalui pembukaan jalan menuju partai-partai politik.

Mengacu pada Mochtar Mas'oed yang terdapat di bukunya Ekonomi serta Sistem Pemerintahan: Era Baru 1966-1971 (1989), ABRI membentuk 'organ-organ kerjasama' yang melibatkan TNI bersama pemuda, pekerja, petani, mantan tentara, dan tokoh agama.

"Angkatan bersenjata mendirikan berbagai entitas guna mengendalikan dan menahan PKI, namun lembaga-lembaga tersebut tampaknya didirikan semakin mendorong kerjasama antara komponen militer dan sipil," demikian katanya seperti yang dikutip dari buku Bilvear Singh tahun 1995.

Di samping itu, keberhasilan TNI menumpas pemberontakan bersenjata, kontrol TNI terhadap harta-harta ekonomi di wilayah-wilayah tertentu, serta penurunan pengaruh partai-partai politik (seiring dengan perannya dalam pemberontakan bersenjata), meningkatkan kedudukan negosiasi Nasution dibandingkan dengan Presiden Sukarno," demikian jelas Andi Wijayanto pada tahun 2017.

1960-1965

Dinamika politik selama masa Demokrasi Terpimpin terakhirnya berkonsentrasi pada munculnya tiga pilar utama dalam arena politik Indonesia: Soekarno, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Menggambarkan peran Soekarno yang berfungsi sebagai penyeimbang di antara kedua kekuatan tersebut," ujar Mochtar Mas'oed pada tahun 1989.

Seiring berkembangnya, krisis ekonomi diikuti oleh krisis politik, yang mengacaukan keseimbangan kekuatan dalam segitiga tersebut.

Setelah kegagalan Gerakan 30 September, PKI diusir dari pentas politik.

Dan, selama periode dua tahun (1966-1968), hal itu terjadi. power struggle "Militer yang memenangi hal tersebut. Soekarno terguling dan Soeharto mengambil alih Istana," ujar pengamat militer Salim Said.

Bagaimana Soeharto menginterpretasikan kembali Dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya?

Setelah sukses memusnahkan PKI dan menjatuhkan Presiden Sukarno tahun 1967, Tentara Nasional Indonesia Cabang Infanteri mendominasi peta politik Indonesia tanpa ada saingan.

Di awal pembentukan Orde Baru, selain menghilangkan paham-paham PKI dari struktur TNI Angkatan Darat, mereka juga melalui badan pemikirannya yang bernama Sekolah Staf dan Komando (Seskoad) di Bandung, menegaskan kembali doktrin Dwifungsi ABRI.

  • Sekarang setelah dilarang pada masa Orde Baru, novel 'Bumi Manusia' karangan Pramoedya Ananta Toer telah dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah - Kenapa para siswa diusulkan untuk membaca berbagai pilihan karya sastra tersebut?
  • Debat tentang sistem pemilihan umum: Apakah memilih partai atau individu? - Khawatir kembali ke masa Orde Baru atau terjadi kanibalisme politik?
  • Pasukan mengepung universitas, para mahasiswa dipindahkan ke Nusakambangan, dan pembatasan membaca buku Pramoedya – tujuh poin penting mengenai NKK/BKK di masa Orde Baru harus Anda ketahui.

Doktrin AD tersebut dijabarkan dan ditetapkan minimal dalam dua sesi Seminar Seskoad yang berlangsung pada bulan April 1965 dan pertengahan Agustus 1966.

"Angkatan Darat yang lahir dalam suasana revolusioner bukanlah sekadar instrumen pasif bagi pemerintahan yang hanya fokus pada masalah keamanan... Angkatan Darat memiliki tanggung jawab lebih dari sekedar misi militer, melainkan juga berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat," begitu tertulis dalam doktrin tersebut.

Sebagaimana dikemukakan oleh Ulf Sundhaussen dalam bukunya tersebut Politik Militer Indonesia 1945-1967 , Menuju Dwifungsi ABRI , isinyanya sangat cocok dengan permintaan yang disampaikan dalam sambutan Soeharto di depan Kostrad pada tanggal 15 Agustus 1965.

Pada kesempatan berpidato, Soeharto menyampaikan bahwa Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat harus mengepalai di setiap sektor.

Menurut analis militer Salim Said, konsep dwifungsi yang dianut oleh Soeharto—yaitu fungsi sosial-politis Tentara—menegaskan argumentasi tersebut dengan menyatakan bahwa dokumen ini telah melalui berbagai modifikasi dan penyempurnaan sebanyak beberapa kesempatan.

"Ketika ada pergantian kebijakan politik yang berdampak pada posisi militer dalam urusan pemerintah, modifikasi doktrin pun menjadi tidak dapat dielakkan," jelas Salim Said dalam artikelnya. Tentara Nasional Indonesia dalam Bidang Politik: Masa Lalu, Kini, dan di Era Mendatang ( Prisma , Juni 1987).

Ini berarti, Salim mencoba menyampaikan bahwa tinjauan kembali doktrin dwifungsi yang dilakukan oleh Seskoad pada tahun 1966 tersebut tidak sama dengan pendekatan 'jangkar tengah' seperti era AH Nasution atau Panglima Besar Jenderal Sudirman.

"Saat Seskoad mengulas kembali doktrin lama pada tahun 1966, tentara telah memegang peranan utama dalam arena politik Indonesia," jelas Salim.

Artinya, seperti yang dijelaskan oleh Salim Said, sejarah Indonesia sudah membuktikan bahwa ABRI senantiasa mengadaptasi doktrinnya sesuai dengan perubahan masyarakat.

"Membuat de jure apa yang sudah menjadi de facto seperti yang ditulis Salim Said dalam pengantar bukunya, Reformasi Angkatan Bersenjata: Struktur dan Keterbukaan Militer di Era Sosial Karya oleh Ahmad Yani Basuki yang terbit pada tahun 2013.

Saat masyarakat menggerakkan TNI untuk menumbangkan Orde Lama, pada kenyataannya konflik antara TNI dan kekuasaan Sukarno telah berlangsung cukup lama. de facto ).

Dukungan dari masyarakat tersebut memberikan kepercayaan pada tentara agar mereka dapat bertindak. de jure )," papar Salim.

Oleh karena itu, saat masyarakat mendukung partisipasi militer dalam ranah politik di masa awal Orde Baru, TNI menyusun secara detil doktrin dwifungsi tersebut.

Sebagaimana disebutkan di awal, perubahan politik yang didorong oleh berbagai alasan, menyebabkan interpretasi serta pelaksanaan dwifungsi juga menjadi bervariasi.

Penafsiran mengenai doktrin Dwifungsi ABRI dapat dilakukan dengan semena-mena. Di akhir tahun 1960-an, misalnya, Soeharto memilih untuk menambah 100 kursi bagi ABRI di DPR tanpa melaluinya lewat proses pemilihan umum.

Tindakan ini diambil sebagai bentuk konsesi kepada para pemimpin partai politik setelah mereka sepakat untuk menggunakan sistem proporsional dalam pemilu, bukannya sistem distrik seperti yang awalnya diminta oleh militer, jelas Salim.

Kritik mengenai hal ini dialamatkan kepada Soeharto. Kompromi tersebut dinilai sebagai titik awal dari pengejawantahan dwifungsi ABRI.

"Di mata para pengeritik itu dilakukan karena penguasa memerlukannya [kompromi] demi kelangsungan kelanggengan kekuasaan mereka," jelas Salim Said.

Kritik tersebut, di antaranya, berasal dari dalam lingkaran elit ABRI. Mereka memperdebatkan jenis dwifungsi apa yang sesuai.

Seorang yang tekun mengkritisi terkait interpretasi dan pelaksanaan dwifungsi adalah AH Nasution.

Salim Said menjabarkan pembuat dokrin tentang fungsi militer dalam urusan sipil sebagai "kritikus yang sangat tajam".

Dalam sebuah pidato pada tahun 1966 yang disampaikan saat ia masih aktif sebagai tentara di Seskoad, Nasution sudah mengingatkan tentang pentingnya menerapkan kembali makna serta pelaksanaan dwifungsi," tulis Salim dalam esainya untuk jurnal tersebut. Prisma tersebut.

Menurut Nasution, peran sosio-politik ABRI seharusnya diinterpretasikan sesuai dengan pasal 2 UUD 1945. Pasal tersebut berkaitan dengan posisi politik Golongan Karya.

Jika ABRI mengeksekusi pasal tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Nasution, maka mereka hanya akan hadir dalam MPRS.

"Dan tak perlu terlibat dalam aktivitas politik sehari-hari," ujar AH Nasution di dalam artikel tersebut. Dwifungsi ABRI: Awalnya dan Saat Ini ( Prisma , Desember 1980).

Hubungan atau peran ABRI di tengah Golkar dalam arena politik Orde Baru pun menjadi sasaran kritikan dari Nasution.

Tahun 1971, ia sempat mengatakan bahwa para perwira ABRI memiliki peran keterlibatan dalam bidang non-militer, misalnya dengan menempati jabatan dalam birokrasi sipil, namun ini harus terbatas pada periode darurat saja. Menurut pandangan beliau, institusi ABRI idealnya harus tetap independen dan berada di luar segala kelompok masyarakat.

Keluhan tentang implikasi dwifungsi tidak hanya datang dari mulut Nasution.

Tahun 1978, Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima ABRI, Jenderal M Jusuf, mengemukakan pandangan kuatnya terkait dengan pelaksanaan Dwifungsi ABRI pada masa tersebut.

Pada beragam situasi, M.Jusuf mengungkapkan bahwa ABRI perlu 'mengecilkan' fokus gandanya.

Dia pun menegaskan pentingnya bagi pejabat militer untuk tidak memihak saat berinteraksi dengan partai politik.

"Jangan langsung curiga pada seseorang yang Anda yakini mendukung PPP atau PDI; hal tersebut tidak baik dan keliru," ungkap M.Jusuf, sebagaimana diquote oleh Ahmad Yani Basuki dalam bukunya. Reformasi Angkatan Bersenjata: Model, Keahlian, dan Reorganisasi Militer di tengah Masyarakat (2013).

Di sisi lain, sejumlah kelompok perwira lain, khususnya mereka yang berdekatan dengan Soeharto, menafsirkan dwifungsi dalam arti yang lebih luas.

Mereka menyatakan bahwa partisipasi aktif TNI dalam urusan politik dan ekonomi dianggap wajar serta dibutuhkan.

"Menyerahkan kembali kedudukan-kedudukan yang saat ini dipegang oleh kalangan militer kepada kalangan sipil hanya akan mengancam kelangsungan hidup negeri serta merugikan proses penyesuaian yang tengah berlangsung," ungkap Mayor Jenderal Ali Moertopo, salah satu asisten personal presiden, pada tahun 1974.

Pada kesempatan memberikan pidato di hadapan pimpinan ABRI tanggal 27 Maret 1980 di kota Pekanbaru, Presiden Soeharto menyatakan bahwa ABRI bertindak sebagai instrumen pertahanan negara yang berdiri di luar kelompok-kelompok masyarakat.

Meskipun demikian, ABRI sebagai kelompok tugas harus memilih mitra yang dapat diandalkan, yaitu mitra yang berdedikasi pada Pancasila, ungkap Soeharto.

Pasangan yang dimaksud oleh Soeharto merujuk kepada partai Golkar.

"Walau dinyatakan tidak terkait dengan kelompok manapun yang berpartisipasi dalam pemilihan umum, namun anggota ABRI diharuskan untuk membantu Golkar," ungkap Ken Ward dalam buku tersebut. NU, PNI dan Kebrutalan dalam Pilpres 1971 (2024).

Mulai dari dasar tersebut, pemerintahan Soeharto merancang strategi supaya Golkar unggul pada pemilihan umum tahun 1971. "Bermacam cara digunakan sebenarnya untuk mendapatkan keuntungan bagi Sekber Golkar," ungkap Awad Bahasoan dalam tulisannya. Golkar Menjelajahi Bentuk Politik Terbaru dalam karya Analisis KekuatanPolitik di Indonesia (1985).

Satu bentuk rekayasan politik tersebut tampak pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 yang menghentikan seluruh pejabat negara, termasuk personel ABRI, untuk berpartisipasi dalam aktivitas partai politik.

Dalam aturan ini juga diingatkan bahwa seluruh Pegawai Negeri Sipil harus menunjukkan kesetiaan eksklusif kepada pemerintah.

Dukungan politik dari ABRI dan aparatur negara pada akhirnya membantu partai Golkar mendapatkan suport sebesar 60,11 hingga 74,51% di dalam pemilihan umum era Orde Baru.

Antara tahun 1964 hingga 1971, Golkar berfungsi sebagai alat bagi militer dalam menangani peralihan kekuasaan dari Orde Terpimpin yang diprakarsai Soekarno menuju penguasaannya sendiri.

Selama perjalanannya, partai beringin tersebut bertransformasi menjadi alat politik yang menghasilkan legitimitas untuk kekuatan Orde Baru.

Sambil bekerja sama dengan ABRI serta komponen Orde Baru yang lain seperti birokrat, teknokrat, dan kapitalis, Golkar kemudian menggabungkan diri untuk menciptakan koalisi luas guna mendukung otoriteran baru tersebut, demikian menurut Eep Saefullah Fatah pada tulisan beliau. Golkar: Apakah gigantisme yang dilembutkan oleh sejarah dalam buku 'Golkar Retak'? (1999).

Selama berjalan waktu, menurut Eep, partai Golkar bertindak sebagai sumber otoritas yang memberikan sah secara politis kepada kekuasaan individual Soeharto.

Akhirnya, usai jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, Golkar terpaksa menuai hasil kesalahan di masa lalu. Salah satunya adalah ketergantungan mereka pada militer yang menjadi pendiri utamanya, menurut Eep.

"Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dua dasawarsa terakhir Orde Baru, militer telah menyediakan dukungan politik yang luar biasa kepada Golkar, sehingga mampu menghancurkan kekuatan dan struktur partai lainnya," tegas Eep.

Dan sejarah pun mengabadikan, peristiwa Reformasi tahun 1998 bagaikan gelombang pencerahan yang membuka mata para anggota ABRI tentang penggunaan kekuatan mereka selama ini telah dieksploitasi oleh rezim Orde Baru.

"Perlahan-lahan mereka mulai menyadari bahwa selama ini mereka hanya digunakan sebagai senjata oleh para pemimpin dan kawan-kawannya dalam rangka mempertahankan kekuasaan," ungkap pakar militer Salim Said di tahun 2013.

Pertanyaannya kemudian, setelah 27 tahun reformasi, apakah langkah-langkah reformasi internal TNI sudah memenuhi harapan?

Dwifungsi ABRI tampak seperti inti utama militer, namun sesungguhnya hal tersebut adalah hasil dari konstruksi politik.

Selama era Orde Baru, kekuatan militer berkat peran gandanya dipercaya akan terus mempengaruhi politik Indonesia dalam jangka waktu lama.

Selain itu, terdapat pandangan bahwa pada masa tersebut belum ada kekuatan sipil yang dapat menyamai superiority dari tentara.

Tetapi pandangan itu hancur berantakan setelah Reformasi tahun 1998.

Hal ini juga memperbaiki pernyataan yang menyebutkan bahwa Dwifungsi ABRI bersifat 'kekal', sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh beberapa elit politik pada saat itu.

Berikut adalah kutipan dari wawancara yang dilakukan oleh BBC News Indonesia dengan pakar sosial-militer, Muhammad Najib Azca:

Pertanyaan: Di dalam buku 'Hegemoni Tentara' yang Anda tulis, Anda mengatakan bahwa munculnya Dwifungsi ABRI tidak disebabkan oleh uji metode atau pendekatan saintifik, tetapi sebagai akibat dari kemenangan sebuah proses politik. Bisakah Anda menjelaskannya lebih lanjut?

Jawaban: Pada saat penelitian untuk tesis yang telah diselesaikan tahun 1996 dan selanjutnya diterbitkan, negara sedang berada dalam masa Orde Baru. Di waktu tersebut, dwifungsi ABRI tampak seperti hal biasa dan hampir sebagai sebuah kebutuhan.

Ini berarti bahwa konsep Dwifungsi ABRI dipandang sebagai hal yang lumrah karena telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Ia sudah mengakar kuat dalam proses historis negeri kita. Bahkan secara normatif diperlukan adanya, sekurang-kurangnya bila kita melihatnya dari sudut pandang militer serta rezim Orde Baru.

Pada karya tulis saya ini, saya berusaha menjelaskan bahwa dwifungsi ABRI adalah sebuah hasil dari aktivitas politik. Konsep tersebut sebenarnya merupakan suatu bentuk konstruksi politik.

Apabila dikemukakan bahwa dwifungsi ABRI adalah hal yang normal serta suatu kebutuhan, sebab kedatangannya mewujudkan perluasan (ekstensifikasi) kepentingan politik, menurut pendapatku jika dipandang melalui sudut pandang demokrasi, tentu saja ini tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Alasannya apa? Sebab dwifungsi ABRI tersebut merupakan bentuk penyimpangan.

Setelah menyelesaikan skripsiku dua tahun pasca Reformasi 1998, saya rasa telah terbukti bahwa Dwifungsi ABRI bukanlah sesuatu yang kekal.

Beberapa sumber dari perwira TNI yang Anda temui menyebut Dwifungsi ABRI sebagai sesuatu yang kekal. Namun, hal itu ternyata tak berlaku lagi setelah Reformasi tahun 1998, di mana Dwifungsi ABRI ditiadakan. Bagaimana maknanya?

Berdasarkan pandangan dari beberapa jendral yang telah saya temui, konsep Dwifungsi ABRI akan terus bertahan. Ini karena hal tersebut tertanam dalam DNA militer. Sejak dilahirkan, prajurit sudah memiliki fungsi dan peran di bidang sosial-politis.

Fungsi ganda ABRI telah menjadi seperti genom atau struktur DNA dari institusi militer tersebut. Inilah poin utama yang disampaikan oleh para jenderal yang saya temui dalam wawancara itu.

Jadi, yang ingin saya sampaikan, hal tersebut tidak tepat. Konsep dwifungsi ABRI, yang menjadi fondasi struktural militernya, sebenarnya adalah sebuah konstruk politis. Ini hanyalah suatu pandangan politik.

Setelah itu, kita menunjukkan lewat Reformasi 1998 bahwa Dwifungsi dapat berubah. Ia bukan hal yang kekal.

Saya rasa kita semua telah menyadari bahwa setelah tahun 1998, diperkenalkan doktrin reformisasi militer baru di mana fungsi ganda ABRI tidak digunakan lagi. Dengan demikian, konsep dwifungsi tak lagi berlaku.

Dengan pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia versi yang telah direvisi, beberapa orang merasa cemas bahwa hal ini bisa memunculkan kembali kesempatan bagi Dwifungsi ABRI?

Menurut pendapat saya, proses reformasi TNI sebetulnya masih belum lengkap.

Yang kami lakukan di tahun 1998 menurut saya adalah gerakan besar dan penting karena mencabut sejumlah dasar dari Dwifungsi ABRI.

Satu hal penting lainnya ialah, pertama-tama, mencabut peran pekerjaan militer TNI.

Sekarang dulu, di samping tugas militernya, ABRI juga menjalankan beberapa peran kewirausahaan.

Peran kekaryaan selama era Orde Baru sangat luas tanpa adanya pembatasan. Dalam setiap bidang dan segala lini, ABRI memiliki peranan penting.

Dia memiliki hak untuk ikut serta dalam berbagai aspek mulai dari pemerintahan lokal hingga nasional beserta dengan sistem birokrasinya. Hampir di semua bidang terdapat campur tangan ABRI. Termasuk juga dalam hal badan penyensoran, pengawasan izin, dan sebagainya.

Kedua, menurut saya hal itu sangat penting namun belum diselesaikan, yakni melaksanakan perubahan pada struktur komando wilayah.

Salah satu hal yang membedakan militer Indonesia dari militer negara lainnya adalah, selain Vietnam.

Mengapa demikian? Karena struktur komando teritorial tersebut merupakan pewarisan dari strategi perang gerilya. Dimana TNI memiliki sejarah berperan dalam peperangan untuk meraih kemerdekaan dan melancarkan taktik gerilya menentang kekuatan penjajahan.

Hierarki perintahnya berjalan dari pusat hingga mencapai tingkatan desa.

Setelah kemerdekaan, strukturnya dipertahankan dan dimasukkan ke dalam institusi sampai sekarang berubah menjadi sistem perintahan wilayah.

Hingga saat ini, Reformasi belum mencapainya.

Sebenarnya, jika kita perhatikan saat ini, menurut pendapatku, sudah diperluas dan bahkan bertambah lebih banyak lagi.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin berupaya menambah unit-unit militer Kodam tambahan, yaitu struktur perintah wilayah baru yang menurutku merupakan berita negatif bagi proses pembaruan angkatan bersenjata tersebut.

( Catatan editor: Kepala Badan Informasi Tentara Nasional Angkatan Darat Brijend Wahyu Yudhayana menyebut bahwa mereka berencana untuk memperbarui tingkat kelima Komando Resor Militer (Korem) menjadi Komando Daerah Militer (Kodam).

Kelima Kodam tersebut akan mengelola wilayah masing-masing yang meliputi Papua Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Riau beserta Kepulauan Riau, serta Lampung dan Bengkulu.

"Konsep tersebut seperti itu. Sehingga terdapat lima kenaikan status Kodam untuk dapat menjadikannya sebagai sebuah Kodam baru," ujar Wahyu saat berbicara dengan para jurnalis di Jakarta pada hari Rabu, 5 Februari 2025 kemarin.

Wahyu menyebut bahwa proses kenaikan status tersebut tengah berlangsung dan merupakan keprioritan bagi KSAD Jenderal Marili Simanjuntak.

"Selain terkait dengan peningkatan kemampuan kami dalam hal sistem pertahanan dan keamanan, kodam baru ini juga mendukung program pemerintah guna mencapai kemandirian beras," tandasnya.

Dia berharap proses restrukturisasi yang sedang dijalankan oleh TNI AD tidak dilihat secara negatif. Menurut Wahyu, tindakan tersebut bertujuan untuk mendukung program-program pemerintah.

Ketiga adalah tentang peradilan militer. Berdasarkan dorongan untuk memperbaiki sistem, selain pengurangan kekuatan komando daerah, masih ada hal lain yang belum direalisasikan sehingga peradilan sipil dapat menangani kasus anggota militer yang melanggar hukum dalam lingkup sipil.

Peradilan militer dirancang untuk menanganai kasus-kasus yang terkait dengan personel militer saat mereka beraksi dalam lingkup militer. Ini mencakup situasi dimana mereka sedang menjalankan tugas atau tanggung jawabnya dalam bidang pertahanan dan peperangan. Apabila ada transgresi hukum oleh seorang prajurit pada kondisi tersebut, maka ia akan diproses lebih lanjut di hadapan pengadilan militer.

Namun jika tentara seperti mencelakakan rakyat biasa atau melakukan pencurian, mereka harus dihadapkan pada pengadilan sipil bukannya pengadilan militer. Hal itu belum juga terealisasi hingga saat ini.

Mengapa perubahan dalam tubuh TNI tidak mencakup isu wilayah?

Karena mainstream Tentara tersebut memandang struktur komando teritorial sebagai jiwa dari Angkatan Darat.

Struktur teritorial tersebut merupakan bagian dari TNI AD. Sedangkan angkatan laut dan udara tidak memiliki sistem perintah terstruktur.

Ini sebenarnya adalah hal yang umum untuk perwira berpangkat menengah. Di TNI AD, perwira senior melihat struktur komandonya sebagai jiwa dari Angkatan Darat tersebut.

Itulah harta karun paling berharga di Angkatan Darat. Oleh karena itu, jangan pernah menyentuhnya.

Oleh sebab itu, para jendral pro-reformasi, jika boleh begitu dikenali, individu seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Widjoyo, serta Agus Wirahadikusuma (yang sudah meninggal dunia dan pernah menjadi Kepala Staf Komando Cadangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat) khususnya SBY yang memerintah selama sepuluh tahun pasca Reformasi, enggan mengubah struktur kekuasaan militer tersebut karena mereka sadar bahwa hambatan atau penolakan akan sangat besar di mata anggota Angkatan Darat.

Jika dia menyentuh hal tersebut, dia mungkin akan menghadapi hambatan, dan bisa jadi kekuatan pendukungnya di militer melemah.

Oleh karena itu, ia enggan untuk menyentuhnya. Sama halnya dengan Joko Widodo yang tak memiliki pandangan tentang perubahan militer. Ia meremehkan hal tersebut dan membiarkannya begitu saja. Sepuluh tahun terakhir, Jokowi telah bersikap demikian.

Namun, masalahnya adalah bahwa saat ini Prabowo Subianto berada di tampuk kekuasaan, ia malah menekankan perlunya memperkuat struktur perintahan wilayah tersebut bahkan lebih dari sebelumnya.

Apakah ada risiko jika sistem komando wilayah tersebut diperluas?

Ancaman utamanya adalah struktur komando wilayah tersebut berubah menjadi cakar-cakar militer dalam ranah politik. Sebab di luar negeri, termasuk Indonesia, tak ada angkatan bersenjata yang mengadopsi sistem komando semacam itu.

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat terdiri atas struktur seperti Kodam (Komando Daerah Militer), Korem (Komando Resor Militer), Kodim (Komando Distrik Militer) hingga Koramil (Komando Rayon Militer) dengan tingkat bawahannya yang dikenal sebagai Babinsa (Bintara Pembina Desa).

Jadi dia memiliki struktur yang bersatu dan teratur dari inti hingga ke desa-desa. Jika dipengaruhi sedikit, ia berubah menjadi tendangan politik.

Tentu saja hal tersebut tidak selalu berubah menjadi urusan politik, namun ini mengakibatkan tugas militer dalam ranah politik sulit untuk dihilangkan karena mereka masih memiliki fungsi tersebut dan strukturnya yang ada.

Sementara angkatan bersenjata mempunyai hierarki perintah yang meliputi wilayah, artinya mereka masih menyimpan pengaruh politik hingga ke skala permukiman desa.

Kita mengerti bahwa susunan militer adalah berbentuk hierarki yang komando.

Maka tugas dari Panglima TNI [akan dilaksanakan] hingga ke tingkat desa. Mereka semua akan terlibat, tanpa memandang apapun, baik secara positif ataupun negatif. Namun, dalam konteks demokrasi, pendekatan seperti ini kurang sesuai.

Struktur kepemimpinan wilayah tersebut bertentangan dengan prinsip-demokrasi. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak menerapkan lagi [struktur kepemimpinan wilayah] tersebut.

Mengapa struktur kepemimpinan wilayah Tentara darat tak sesuai untuk negara demokratis?

Dia merasa tidak nyaman dengan sistem demokrasi karena struktur wilayah komandonya memungkinkan angkatan bersenjata untuk ikut campur dalam urusan politik seharusnya dilarang.

Dalam sistem demokrasi, tentara seharusnya tidak berpartisipasi dalam persaingan politik. Mereka hanya harus menjadi instrumen perlindungan negeri melawan bahaya yang berkaitan dengan kemerdekaan nasional.

Namun, struktur yang berlaku saat ini, yaitu sistem perintah teritorial, memiliki mekanisme politik yang berkaitan satu sama lain.

Oleh karena itu, saat ini yang terkuat dalam konteks pemerintahan adalah tentara dan polisi. Kepolisian mempunyai hierarki mulai dari tingkat nasional hingga kecamatan. Sedangkan untuk angkatan bersenjata mencakup wilayah hingga kekoramil.

Perbedaannya hanya terletak pada kehadiran polisi di negara-negara demokrasi. Di setiap negara manapun, tersedia struktur organisasi polisi semacam itu.

Masalah utamanya adalah apakah struktur polisi tersebut dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik, atau justru dieksploitasi dalam hal politik.

Kehadirannya bukan langsung menjadi pengganggu.

Nah, kalau militer lebih problematik. Karena dia memang fungsinya pertahanan negara. Struktur komando hirarkis Angkatan Darat juga punya pengalaman, punya sejarah menjadi kekuatan politik yang hegemonik selama sekian puluh tahun.

Maka hingga saat ini, saya rasa, potensi dari [struktur komando teritorial] sebagai kekuatan politik dominan siap dipakai kapan pun oleh jaringan berkuasa.

( Nota editor: Menurut Ahmad Yani Basuki dalam bukunya 'Reformasi TNI: Pola, Profesionalisme Re-fungsionalisasi Militer dalam Masyarakat' yang diterbitkan pada tahun 2013, walaupun masih adanya struktur komando wilayah atau territorial command telah bertransformasi menjadi bentuk fungsinya. Komponen-komponen ini kini hanya bertindak sebagai simbol dari daya dukung pertahanan nasional. Unit-unit militer tersebut sama sekali tak memperoleh kesempatan ataupun dasar apapun untuk turut serta dalam ranah politik praktikal (seperti halnya dengan politik daerah), entah itu melalui lembaga resmi mereka maupun individu-individu di dalamnya. ).

Maka, apakah penyusunan ulang Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia seolah membuka pintu bagi kedatangan kembali dwifungsi ABRI?

Ini merupakan peringatan dari masyarakat sipil yang menunjukkan bahwa saat ini presiden mereka [Prabowo Subianto], mempunyai latar belakang di bidang militer.

Saya rasa Prabowo cenderung memilih untuk berkolaborasi lebih dekat dengan militer dalam pekerjaannya. nature -nya. Prabowo adalah anggota Kopassus dan telah mencapai pangkat jenderal. Dia cenderung lebih memilih tugas-tugas militer yang bergerak cepat, terstruktur, serta bertingkatan hierarki.

Oleh karena itu, saya rasa penyempurnaan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia ini memberikan sedikit peluang agar peran militer bisa diperluas.

Namun, jika dibandingkan dengan Dwifungsi ABRI pada zaman dahulu, perbedaannya masih cukup signifikan. Hanya saja, sesuai dengan yang telah saya sampaikan sebelumnya, proses reformasi TNI harus terus diperluas. Saat ini, situasinya bahkan tampak mengalami kemunduran akibat dari revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia tersebut.

Jadi hal ini bukanlah untuk membawa kembali dwifungsi ABRI seperti pada masa 1990-an, tentu saja tidak. Namun, ini menyebabkan program reformasi militer yang semestinya berjalan maju, justru menjadi Mundur.

Kita harus melanjutkan proses reformasi secara berkelanjutan saat ini.

Terdapat pandangan yang beredar di kalangan publik dan beberapa analis tentang kedatangan kembali TNI ke ranah sipil, hal ini dikaitkan dengan yang dikenal sebagai ketidakmampuan para elite sipil.

Masalahnya adalah kondisi sociologis politik kita sebelum adanya reformasi di mana masyarakat Indonesia menganggap angkatan bersenjata memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial dan publik.

Ini sebenarnya adalah masalah sosial, yaitu persepsi bersama masyarakat tentang fungsi militer.

Menurut saya, kita pernah menghadapi situasi serupa dalam menangani konflik sebelumnya, terutama pada tahun 1965. Saat itu berbagai organisasi sosial dan politik seperti PKI, Masyumi, serta NU masing-masing mempunyai pasukan sendiri yang dikenal sebagai laskar. Semua pihak juga memiliki pasukannya tersendiri.

Hal ini pun telah terjadi pada masa awal kemerdekaan. Setelah itu, kondisi tersebut tetap berlangsung bahkan setelah kita sudah memperoleh kemerdekaan.

Dan, menurut pendapatku, hal tersebut mulai berkembang dengan signifikan di mata publik.

Mereka menunjukkan sikap toleransi dengan menyatakan bahwa 'membiarkan militer memiliki peran sipil adalah hal yang wajar, karena mereka memang memiliki kapabilitas, sementara pihak sipil justru kurang kuat.' Itulah kata-kata mereka.

Dari situ muncul pandangan bahwa kita perlu memiliki struktur paramiliter yang efektif untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan nasional.

Dan menurut pendapat saya, ini adalah pandangan yang masih cukup umum diterima oleh masyarakat awam.

Oleh karena itu, tugas rumahan [PR] kita sekarang, khususnya bagi gerakan masyarakat sipil, adalah menangani persepsi umum yang luas tentang kebutuhan akan adanya angkatan bersenjata dalam menjaga beberapa posisi penting tersebut.

Ini adalah masalah yang ada dalam masyarakat.

Ini merupakan tugas berat bagi seluruh gerakan sipil dalam menyelenggarakan pendidikan masyarakat tentang fungsi militer dan sipil tersebut.

  • Pasukan melindungi hakim-hakim, apakah ini usaha Prabowo untuk mengurangi dampak dari Jokowi?
  • Gula di Koperasi Tentara – Apa itu Bisnis Militer di Indonesia?
  • Mahasiswa dari UIN Walisongo Semarang mengalami intimidasi oleh seorang anggota TNI setelah berita tentang kedatangan tentara di kampus mereka ramai dibicarakan – "Saya mendapatkan ancaman sesuai dengan Undang-Undang ITE"
  • Testimoni mantan jenderal yang dahulunya mencoba menghapus Dwifungsi ABRI – 'Saya melawan arus dan dihajar'
  • Perubahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia Berisiko Memulihkan Dua Fungsionabilitas ABRI - Apa Penyebab Trauma Militerisme Masa Orde Baru?
  • Perubahan Undang-Undang Tentang TNI: 'Tentara Selalu Otoritarian' - Dampak apa yang mungkin terjadi bila militer menyebar ke ranah non-militer?
  • Soeharto 'dihidupkan kembali' menggunakan kecerdasan buatan, undang mencoblos Golkar - Bisakah ini meningkatkan popularitas partainya?
  • Antara tahun 1965 dan peribahasa "piye kabare enak jamanku toh": Suharto dibenci, Suharto dikagumi.
  • Apakah Propaganda Orde Baru ada di belakang kegiatan Cerdas Cermat dan Tim Capir?
  • Rocky Gerung dilaporkan kepada polisi,aktivis mengatakan:'Tanda-tanda era baru di pemerintahan Jokowi'
  • Debat tentang sistem pemilihan umum: Apakah memilih partai atau individu? - Apa ini menandakan kembalinya era Orde Baru atau perpolitikan yang serba konsumtif?
  • Megawati Sebut 'Penguasa Saat Ini' Seperti Era Orde Baru - Apakah Itu Penilaian yang Sesuai Atau Hanya Ilusi?
  • Pasukan melindungi kejaksaan, apakah ini usaha Prabowo untuk mengurangi dampak dari Jokowi?
  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru
  • Mahasiswa dari UIN Walisongo Semarang mengalami intimidasi oleh seorang anggota TNI setelah adanya laporan tentang kedatangan tentara di area kampus - 'Ancaman dibuat berdasarkan Undang-Undang ITE ditujukan kepada saya'
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url




sr7themes.eu.org