Ekonom Prediksi Kerugian Demo Ojol Bisa Sampai Rp 400 Miliar

Radar Info.CO.ID, JAKARTA - Ekspert dalam bidang kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, memberikan tanggapannya terkait demonstrasi besar-besaran yang diselenggarakan oleh pengemudi ojek online (ojol) pada hari Selasa, tanggal 20 Mei 2025. Aksi tersebut merupakan penentangan atas tuduhan melanggar peraturan seputar potongan biaya aplikasi. Menurut Achmad, dampak finansial negatif karena adanya demo yang diprediksinya akan dihadiri oleh sekitar 25 ribu ojol dapat merambah hingga triliunan rupiah.

"Dampak ekonomi dari tindakan tersebut tidak dapat diremehkan. Sebagai sentra layanan ojek online, Jakarta berpotensi merugi sekitar Rp 400 miliar dari total transaksi ojek online hanya dalam waktu sehari. Belum termasuk kerugian tambahan mencapai Rp 158 miliar yang disebabkan oleh penurunan belanja konsumen pada jasa antar-mobilitas," paparan Achmad melalui pernyataannya, Selasa (20/5/2025).

Achmad menyebutkan bahwa tidak hanya korporasi besar saja yang terdampak, melainkan juga pebisnis dari skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta pemilik warung makan, kurir logistik, dan penduduk kota yang bergantung pada kelancaran transportasi.

Menurut dia, kota-kota besar semacam Jakarta sangat mengandalkan efisiensi dalam urusan pengiriman barang secara detail, dengan jasa ojek online menjadi bagian tidak terlihat namun penting darinya. Di sisi lain, supir-supir tersebut pun rela menahan kerugian sekitar Rp 116.000 sebagai pendapatan harapan mereka karena turut serta dalam aksi protes ini.

"Apabila 25 ribu pengemudi melakukan pemogokan, maka artinya lebih dari Rp 2,9 miliar Pendapatan akan hilang dalam satu hari," katanya.

Achmad menyatakan bahwa asal-usul permasalahan yang menjadi pemicu protes ojek online hari ini tidak berasal dari masalah baru kemarin saja. Para supir daring telah lama merasakan tekanan karena kebijakan-kebijakan platform yang dianggap semakin sering dieksplotasi. Menurut pandangannya, sudah jelas adanya ketidakseimbangan dalam hubungan antara giant digital app dengan para supir yang merupakan bagian penting dari sistem layanan tersebut. Baginya, ojek online seharusnya lebih dari sekadar moda transportasi; mereka adalah nyawa bagi perekonomian kota.

Achmad membandingkan hal ini seperti pembuluh darah yang menghubungkan jantug dengan organ penting lainnya; layanan ojek online membawa makanan, dokumen, siswa sekolah, dan hingga keperluan darurat. Meski demikian, para supir telah lama beroperasi di bawah sistem yang tidak seimbang. Kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan penyedia aplikasi tersebut dipandang kurang memberi kesempatan untuk negosiasi secara adil.

"Analoginya seperti ini: Bayangkan jika kamu dimintai bantuan untuk membangun sebuah rumah, tetapi sang arsitek, kontraktor, serta pemilik lahan sama sekali belum membicarakan gaji maupun jadwal pekerjaan denganmu. Lebih buruk lagi, kau pun diharuskan menyewa alat-alat bangunan daripada mereka sendiri. Lalu saat kamu tanyakan tentang bagaimana caranya bisa mencari nafkah yang cukup hanya berdasarkan pendapatan tersebut, jawabannya adalah bekerjalah lebih tekun lagi. Inilah kondisi nyata para pengendara ojek online sekarang," jelasku.

Ironisnya, menurut Achmad, pemerintah telah mempunyai peraturan untuk melindungi para supir transportasi daring tersebut. Yaitu Permenhub PM No. 12 Tahun 2019 serta Kepmenhub KP No. 1001 Tahun 2022 mestinya dapat berfungsi sebagai benteng perlindungan hukum bagi mereka.

"Namun, bagaimana mungkin makna aturan jika tidak dijalankan?" tegas Achmad. "Para pelaku justru tetap melakukan pemotongan melebihi batas, mengimplementasikan program-program yang tidak adil tanpa meminta masukan dari para supir, serta membuat algoritme yang merugikan rekan-rekannya," tambahnya.

Achmad mengatakan bahwa apabila pemerintah tidak aktif, peraturan tersebut akan menjadi seperti dekorasi dalam sebuah arsip. Negara ini seolah-olah lebih memahami bahasa korporat dibandingkan irama dari keadilan sosial yang sesungguhnya.

"Ini merupakan sebuah paradoks dalam demokrasi: orang-orang yang paling berpengaruh secara langsung malah kesulitan untuk menyuarakan pendapatnya di arena pengambilan keputusan," katanya.

Achmad menambahkan bahwa pemerintah perlu mengubah paradigma kebijakannya dari pendekatan atas bawah menjadi lebih terlibat dan partisipatif. Menurutnya, tuntutan para pengemudi untuk melakukan Rencana Diskusi Rakor (RDP) tidak boleh dipandang sebagai permintaan yang berlebihan. Ini merupakan salah satu cara menjalankan proses demokratik secara berkala.

Menurut dia, satu kali saja selama masa krisis itu kurang; perlu adanya forum berkala setiap enam bulan yang mencakup penumpang online, pemberi layanan, otoritas regulasi, serta organisasi pemelihara hak konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

"Kami perlu mengimplementasikan model yang disebut co-regulasi, di mana aturan tak hanya berasal dari pemerintah atau sektor swasta, tetapi melalui diskusi bersama para pemangku kepentingan. Di dalam skema ini, tarif, birokrasi, serta program berbasis teknologi informasi akan ditetapkan dengan cara yang jujur dan terbuka. Batasan potongan hingga maksimum 10% tidak saja rasional, namun juga etis," katanya.

Diketahui, Asosiasi Pengemudi Online sebelumnya telah menyampaikan permintaan utama mereka selama protes demonstrasi hari ini yaitu adanya peninjauan kembali aturan yang mensyaratkan batas atas pengenaan biaya oleh aplikasi tidak melebihi 10%. Aturan saat ini mengatur tingkat potongan dari aplikasi bisa sampai 20%, tetapi asosiasi mengklaim bahwa perusahaan platform sesungguhnya meneraplikannya hingga ke level 50 %.

"Dengan penghasilan sopir yang mencapai kira-kira tiga setengah juta rupiah perbulan, pemotongan dua puluh persen merupakan bentuk pengeksploitan modern," ungkapnya.

Achmad mengatakan bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh para sopir ojol pada tanggal 20 Mei 2025 merupakan indikator jelas bahwa ekonomi digital bukanlah hal yang adil dan seimbang. Menurutnya, ini dapat digunakan sebagai sarana untuk memperkuat kedudukan masyarakat, tetapi di saat bersamaan juga bisa dipakai sebagai senjata untuk mendiskriminasi mereka.

"Pemerintah perlu dengan cepat menerapkan regulasi, membatasi komisi hingga maksimum 10%, mendirikan wadah untuk pertemuan-pertemuan rutin terkait diskusi publik, serta mengikutsertakan para sopir dalam penyusunan semua keputusan tentang tarif dan insentif," ungkapnya.

Sebaliknya, ia menambahkan bahwa tindakan semacam itu akan berlanjut. Lebih mengkhawatirkan lagi, keyakinan masyarakat terhadap pemerintah dapat hilang secara perlahan.

"Di dalam demokrasi, tak seharusnya ada suara yang remeh untuk didengarkan. Ini termasuk klakson dari para pengemudi ojek online yang memutuskan untuk bungkam pada hari ini supaya negeri kita akhirnya menyimak," tandasnya.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url




sr7themes.eu.org