Perayaan Ilmu Wallace: Membangkitkan Kebudayaan Keilmuan Lombok

Oleh: Salman Faris *Pengarang adalah seorang doktor dari Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI), Malaysia, serta penulis buku novel "Tuan Guru".

Artikel ini menunjukkan kesetiaan dan penuh dukungan terhadap ide dari kawan saya, Pak Zulhakim mengenai Pemeringatan Wallace sebagai suatu kebutuhan. Ide serta usaha yang telah dia gelorakan cukup lama. Lalu pembaruan tersebut makin diperkuat lewat pembicaraan intensif antara kedua temanku yaitu Pak Ari Garmono dan juga Pak Zulhakim pada acaracukuran Podcast dengan nama Zainal Asikin Channel yang baru saja dipublikasikan beberapa waktu yang lalu.

Saking bersemangatnya, saya tidak memperdulikan sampai mana pekerjaannya sudah selesai dan langsung mendukung penuh pertempuran sang teman yang kaya akan karya tulis tersebut.

Konsep Festivitas Wallace di Lombok merupakan visi ambisius untuk merancang masa depan dengan menganalisis secara kritis literatur terkait. Menghidupkan kembali naskah-naskah tersebut kedalam jalur politik peradaban bagi Lombok, tempat yang telah memberikan sumbangan signifikan pada pengembangan berbagai disiplin ilmu serta sejarah global.

Oleh karena itu, Bulan Juni, dipilih sebagai Bulan Peringatan Wallace bukan saja untuk menandai kunjungan pertamanya ke Ampenan pada tahun 1856, tetapi juga bisa menjadi simbol bagi posisi ilmu pengetahuan (dalam konteks Barat: modern) di Lombok di masa mendatang. Hal ini tentu harus diterima bahwa awalnya hal tersebut mulai tumbuh tipis pada tahun 1896.

Setelah dua tahun penaklukan Karangasem Bali oleh Belanda, penting untuk saya tegaskan bahwa peradaban ilmu pengetahuan Islam di Lombok telah berkembang selama ribuan tahun. Sebelumnya, pada masa Kerajaan Selaparang yang beragama Islam, hubungan antara tokoh agama di sana sudah terbentuk dengan erat bersama ulama dari Jawa dan wilayah lain di Nusantara.

Ketika Alfred Russel Wallace menginjakkan kaki di tanah Nusantara pada abad ke-19, ia tidak hanya membawa misi ilmiah tentang seleksi alam dan keanekaragaman hayati, tetapi juga membawa satu semangat penting yang pada masanya belum banyak dimiliki oleh bangsa-bangsa yang ia kunjungi.

Roh petualangan mencari ilmu yang tak kenal batas dan berkelanjutan. Perjalanan Wallace melewati kepulauan tropis, ganas, serta dipenuhi teka-teki ini secara keseluruhan membentuk garis khayalan bernama Wallacia. Ini membatasi perbedaan biogeografi di antara ekosistem tumbuhan dan hewan Asia dengan Australasia.

Lombok, sebagai salah satu pusat utama dalam jalur ini, melebihi statusnya hanya sebagai sebuah pulau tropis untuk dieksplorasi oleh para ilmuwan alam. Lombok telah menjadi bukti interaksinya antara kemajuan saintifik dengan keragaman ekologis setempat yang memukau.

Dengan demikian, Perayaan Wallace tidak seharusnya dipandang hanya sebagai wujud penghormatan terhadap sang ilmuwan Inggris yang agung, tetapi lebih dari itu, ia harus menjadi momentum pencerahan dan transformasi guna merangsang kembali gairah akan pembelajaran serta menciptakan peradaban baru dalam bidang pengetahuan di pulau Lombok.

Sayangnya, setelah lebih dari seratus tahun semenjak kedatangan Wallace, Lombok malah kurang berperan aktif dalam arus ilmu pengetahuan. Jarang ada orang yang mengeksplorasi warisan pemikiran itu lagi, bahkan beberapa memandang Wallace hanya sebagai cerita asing tanpa kaitannya dengan kehidupan penduduk setempat.

Akan tetapi, sejarah tak pernah menguntungkan mereka yang abaikan bakat intelektual diri sendiri. Di era semakin dipengaruhi oleh teknologi, data, serta pengetahuan, tertinggal dalam pembangunan fondasi ilmiah dapat menyebabkan marginalisasi struktural yang panjang.

Maka dari itu, Perayaan Wallace perlu diinterpretasikan dengan cara yang baru. Tidak hanya menjadi suatu upacara penghormatan, melainkan juga sebagai pendekatan budaya untuk menghidupkan kembali pemahaman saintifik serta merintis peradaban sains Lombok berdasarkan pondasi yang kokoh.

Apabila peradaban merupakan hasil kumpulan kebiasaan berfikir, menulis, menganalisis, serta bercakap-cakap, maka Lombok sebenarnya mempunyai banyak potensi terpendam yang boleh dipergunakan.

Dari warisan budaya masyarakat Sasak yang mempunyai pemahaman luas mengenai iklim, tanaman obat, serta struktur sosialnya, sampai dengan adanya perguruan tinggi dan institusi penelitian yang kian berkembang di Mataram dan wilayah-wilayah terdekat.

Setiap elemen tersebut merupakan fondasi yang bisa mendukung struktur peradaban ilmiah. Akan tetapi, hal ini baru berpotensi apabila tak ada upaya terkoordinir yang menuntun energi masyarakat menuju pembentukan dan pemilahan wawasan.

Pada kasus ini, tekad Wallace dapat menginspirasi. Sama seperti Wallace yang tak senang dengan jawaban-jawaban kurang memuaskan, penduduk Lombok perlu mulai merancangi pola pikir yang kritis, penyelidik, serta toleran terhadap variasi.

Tentunya kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa ilmu pengetahuan tidak bertumbuhan di lingkungan kosong. Ilmu tersebut berkembang sesuai dengan latar belakang sosial, politik, dan ekonomi yang spesifik.

Di Lombok, salah satu hambatan utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan adalah pengaruh yang kuat dari pemikiran mistis, mitos, serta pendekatan praktis di lingkungan masyarakat. Pendidikan saat ini dilihat lebih sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan daripada menjadi suatu proses membentuk kemampuan berpikir kritis dan daya khayal yang tidak terbatas baik secara spasial maupun temporal.

Universitas cenderung fokus pada penghasilan ijasah dibandingkan dengan pembentukan lingkungan akademik yang kritis dan kooperatif. Di tengah situasi seperti ini, Perayaan Wallace dapat menjadi kesempatan untuk mengingat kembali nilai-nilai intelektualitas dalam ilmu pengetahuan yang terbebas dari tujuan jangka pendek serta memiliki dampak transformasional.

Acara ini perlu dijadikan wadah simbolis untuk mempertemukan kembali Lombok dengan jejaring akademisi internasional dan sekaligus menonjolkan warisan setempat sebagai elemen penting dalam percakapan saintifik global.

Satu tahap krusial untuk menciptakan peradaban ilmiah adalah merancang dasar epistemologi yang kuat. Di Lombok, hal tersebut bermakna menyejukkan kedua jenis wawasan primer yaitu sains moderen dengan bijaksana tradisional.

Bukan dengan cara pandangan yang menempatkan ilmu lokal sebagai lebih rendah dibandingkan sains Barat, tetapi dalam perspektif ekologi pengetahuan, di mana tiap jenis kebijaksanaan mempunyai nilai tersendiri, konteksnya, serta sumbangsih berbeda.

Pengetahuan mengenai pola angin, gerak migrasi burung, musim penanaman, serta ragam tanaman yang telah disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi oleh leluhur Lombok dapat memberikan informasi praktis dengan nilai besar bagi riset terkait perubahan iklim, pertanian ramah lingkungan, ataupun pelestarian alam hidup.

Akan tetapi, diperlukan adanya jembatan institusi dan budaya yang dapat mengizinkan terjadinya transisi pengetahuan diantara kedua lingkup tersebut. Perguruan tinggi, instansi penelitian, serta masyarakat akademis seharusnya berfungsi sebagai tempat diskusi. Tidak semestinyanya menjadi pulau terpencil.

Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa perguruan tinggi di Lombok tak seharusnya terbatas pada fungsi mereka sebagai institusi akademik formal saja. Mereka juga harus bertindak sebagai sumber penghasilan pengetahuan yang mendukung masyarakat dan lingkungan setempat. Kampus tersebut perlu memiliki interaksi langsung dengan dunia luar seperti hutan, persawahan, lautan, serta pasar.

Mahasiswa jangan sekadar diberi pendidikan untuk menjadi pekerja inteligen yang taat, melainkan harus dilatih menjadi peneliti serta pembuat pikiran yang kritis, berani, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, Perayaan Wallace dapat menandai titik balik dalam mengubah fokus universitas yaitu dari sebuah sistem birokrasi menuju pusat kemajuan ilmu pengetahuan.

Seperti halnya Wallace yang menggunakan alam sebagai laboratorium pribadi, universitas-universitas di Lombok perlu mengembangkan lab mereka dari dalam kelas hingga ke luar lingkungan alami serta dunia sosial sekitar.

Meskipun demikian, menciptakan suatu peradaban ilmiah tak dapat bergantung sepenuhnya pada lembaga resmi saja. Tetapi juga dibutuhkan pemberdayaan budaya keilmuan di skala masyarakat. Kebiasaan membaca, berdiskusi, menulis, serta mendokumentasikan informasi harus diajarkan sedari awal dan dilestarikan terus-menerus.

Perpustakaan desa, grup belajar setempat, jaringan informasi masyarakat, serta pesta ilmu pengetahuan dapat menjadi alat penting untuk mengembangkan atmosfer pemikiran kritis.

Dengan semangat tersebut, Perayaan Wallace seharusnya diartikan sebagai perayaan pemikiran bersama, bukannya hanya festival intelektual untuk kalangan berpendidikan saja. Acara ini harus mencakup partisipasi petani, nelayan, seniman, santri, serta semua segmen masyarakat yang tertarik menggali arti kehidupan lewat pembelajaran ilmiah.

Sebaliknya, kita tak bisa menyepelekan hambatan signifikan yang muncul dari lingkungan sekitar. Deretan wisatawan massa yang berkelanjutan masuk ke Lombok juga mendatangkan aliran budaya yang dangkal, kilat, dan spontan.

Pulau tersebut ditawarkan sebagai destinasi persembunyian, pesona tropis, serta hiburan tanpa menghiraukan sistem sosial dan ekologinya. Sektor wisata berorientasi untung cepat acap kali meremehkan area-area untuk studi ilmiah dan introspeksi.

Lombok dijadikan sebagai benda untuk dikonsumsi, bukannya subjek yang perlu dipelajari. Berdasarkan hal tersebut, Perayaan Wallace dapat bertindak sebagai lawan dari logika pariwisata yang menolak kecerdasan.

Dia dapat menarik fokus masyarakat pada tur ilmiah, etnografi, serta ekologi yang bukan saja menciptakan penghasilan namun juga memperkaya wawasan dan kepedulian bersama.

Tentu saja, kritik tentang pariwisata ataupun sistem pendidikan saja tak cukup. Kita harus memahami bahwa kemajuan ilmiah baru bisa timbul apabila ada gerakan sadar serta berstruktur yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat.

Pemda setempat (yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota Mataram) seharusnya menjadikan pembinaan ilmu pengetahuan sebagai fokus terpenting, dan tidak sekadar basa-basi di dalam naskah-naskah perancangan.

Rencana anggaran untuk penelitian, pembangunan perpustakaan, pendidikan ilmiah, serta publikasi akademik seharusnya ditingkatkan dengan pesat. Sektor bisnis harus diminta berperan aktif dalam mensupport riset aplikatif yang memiliki dampak positif langsung pada kehidupan masyarakat.

Organisasi non-pemerintahan dan masyarakat setempat perlu berperan aktif dalam menjembatanikan hubungan antara para peneliti dengan publik. Sama pentingnya, tokoh-tokoh pemikir dan akademisi di Lombok seharusnya menjadi penggerak, tidak sekadar penonton. Mediator utamanya adalah Pemerintah Kota Mataram melalui program Tuna Rumaun Perayaan Wallace.

Dalam mendirikan suatu peradaban berbasis pengetahuan, kita harus mengkaji ulang arti dari ilmu itu sendiri. Ilmu tidak sekadar tentang pengumpulan data atau formula-formula kompleks.

Itu merupakan suatu perspektif tentang kehidupan, sebuah sarana untuk mengerti realita, serta jalur menuju pada pencerahan. Pengetahuan mampu melepaskan manusia dari ketidaktahuannya, ketergantungannya, dan ketidakadilannya.

Ini memberi kapabilitas untuk mengevaluasi kebijakan berwenang, menyelidiki asal-usul persoalan, serta menciptakan era akan datang yang lebih seimbang. Di sini, pengetahuan harus dilihat sebagai sarana dalam pertempuran sosial, tidak hanya alat teknis semata. Oleh karena itu, Perayaan Wallace merupakan penghargaan kepada ilmu yang melepaskan, bukannya ilmu yang meneruskan eksploitasi.

Menghadapi berbagai masalah dunia seperti pemanasan global, degradasi lingkungan, kesenjangan sosial, serta krisis identitas, Lombok memerlukan terobosan kemajuan besar-besaran.

Loncatan tersebut tidak dapat dicapai tanpa memiliki dasar pengetahuan yang kokoh dan berkelanjutan. Lombok tak boleh lagi bergantung hanya pada industri wisata atau produk pertanian saja.

Dia perlu memulai untuk merintis pengembangan sektor pengetahuan sebagai fondasi utamanya. Salah satu cara adalah dengan mendirikan pusat-pusat riset terkait Wallacea, ekologi tropical, ketahanan pangan, serta budaya setempat agar dapat menjalin hubungan antara Lombok dengan masalah-masalah dunia tanpa meninggalkan identitas lokalnya.

Maka itu, Perayaan Wallace harus memulai suatu gerakan berkelanjutan menuju pencerahan sains di Lombok. Bergerak dari perayaan ke proses introspeksi. Dan dari tahap pemikiran ini menuju pada tindakan nyata.

Dari tindakan-tindakan yang telah direncanakan dengan baik selanjutnya mencapai evolusi peradaban. Bila Lombok bertujuan untuk melepaskan diri dari marginalisasi struktural maupun kultural, maka salah satu solusinya ialah mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang kuat, inklusif, serta mendukung perkembangan hidup masyarakat.

Inilah pesan paling dalam dari Perayaan Wallace. Bukan hanya untuk menyegani seorang ilmuwan, tetapi juga mendorong gairah pengetahuan menjadi inti peradaban manusia.

Inilah tempatnya Lombok, nantinya tidak hanya menjadi bagian dari peta Wallacea dan perdebatan skala global saja, melainkan juga pemain utama dalam sejarah keilmuan dunia.

Menurut saya, Pemerintah Kota Mataram tidak akan tinggal diam terhadap upaya memajukan ilmu pengetahuan di Lombok.

Malaysia, 24 Mei 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url




sr7themes.eu.org