Tersangka Kasus Korupsi dengan Penyakit Berat: Stroke, Parkinson, atau Gagal Ginjal, Bisakah Menghindari Persidangan?

Radar Info.CO.ID, Ditulis oleh Zubairi Djoerban dan Agus Purwadianto, yang merupakan Ketua dan Wakil Ketua Tim Second Opinion IDI-KPK, keduanya juga adalah Guru Besar FKUI.

Cukup sering kita membaca di media tentang tersangka suatu kasus kejahatan —kebanyakan kasus korupsi—yang mendadak sakit ketika akan diajukan ke pengadilan. Mengamati respon di media sosial, masyarakat tampaknya skeptis dengan alasan sakit yang diajukan tim pengacara.

Penduduk setempat meyakini bahwa taktik tersebut merupakan cara hukum pidana membelanjai waktu dengan tujuan merancangkan strategi dalam menghadapi serangan dari regu penyelidik dan Jaksa Penuntut. Artikel ini ditujukan untuk menerangi tentang konsep "layak diadili" serta "tidak layak diadili", sambil membahas kriteria yang digunakan oleh mahkamah dalam menilai kesesuaian mental terduga pelaku untuk diproses persidangan.

Telah ada banyak literatur tentang definisi dan batasan "layak untuk diadili". Beberapa negara memiliki undang-undang perlindungan bagi penyandang disabilitas yang menjadi terduga kasus hukum; mereka dapat dilindungi dari persidangan apabila kondisi kesehatannya parah atau karena adanya disabilitas tertentu. Sebagai contoh, Schizophrenia Society of Ontario memberikan penjelasan mudah dimengerti tentang hal tersebut pada situs webnya www.schizophrenia.on.ca/getattachment/Resources/Educational-Resources/Printable-Resources/3-Fitness-to-Stand-Trial-FINAL-EN.pdf.aspx. Menurut artikel ini, individu yang dicurigai telah melakukan suatu kejahatan bisa menunda proses peradilan apabila dokter menyatakan bahwa orang tersebut tidak sehat atau menghadapi tantangan kesehatan mental serius.

Canada merupakan salah satu negeri yang telah cukup berkembang dalam menata peranan tenaga kesehatan di ranah hukum. Misalnya saja Kode Pidana Kanada, sudah mencantumkan bahwa terdapat tiga syarat dimana apabila salah satunya dipenuhi maka individu tersebut dapat dikelompokkan sebagai orang dengan kemampuan mental yang lemah untuk memfollow up proses sidang. Tiga ketentuan itu antara lain adalah sebagaimana berikut:

a. Gagal dalam pemahaman – termasuk mengekspresikan ketidaksukaan – atas tuduhan yang ditujukan padanya; tidak mengenal para pihak yang ada di ruangan persidangan seperti hakim, jaksa penuntut, jury, serta pengacara miliknya sendiri; dan juga tak sadar tentang alasan kedatangan mereka di tempat itu. Sebagai contoh, seseorang dengan penyakit skizofrenia parah.

b. Tidak menyadari dampak dari tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Ini mencakup ketidaktahuan tentang dakwaan tersebut, ketidakhendakan atas hak membela diri, serta ketidaktahuan tentang hasil apabila pengadilan menjatuhkan vonis bersalah pada mereka. Selain itu juga termasuk kurangnya pemahaman tentang akibat bila mereka berbohong. Sebagai contoh adalah seseorang dengan kondisi Parkinson tingkat parah.

c. Gagal untuk berkomunikasi efektif dengan tim hukumannya. Artinya, dia tidak dapat ambil bagian dalam merumuskan pertahanan argumentasi ataupun memaparkan pandangannya sendiri sebagai terdakwa kepada para pengacara dan juga menentukan tindakan apa yang akan dilakukan mengenai tuduhan itu. Sebagai contohnya adalah seseorang penderita strok parah bersama dengan kelumpuhan separuh tubuh yang didampingi oleh Aphasia Sensorik/Motorika yang cukup serius.

Mari kita periksa apa yang umum terjadi di tempat kerja. Misalnya, mari kita bahas bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani kasus-kasus penyuapan. Saat KPK siap menyelidiki individu tertentu, entah itu mereka telah dinyatakan sebagai tersangka atau hanya menjadi saksi, biasanya orang tersebut akan mencari nasihat hukum dengan mengontrak seorang pengacara.

Sering terjadi, pengacara akan menyatakan ke KPK bahwa kliennya sakit: diabetes mellitus (DM), hipertensi, sakit jantung, sakit ginjal, dan sebagainya. Pengacara akan melampirkan surat keterangan dokter praktisi dan karena itu secara hukum klien mempunyai hak untuk tidak diperiksa. Menghadapi situasi ini penyidik KPK yang berlatar belakang non-medis akan “bingung”. Bahkan dokter pegawai KPK sekali pun “kalah awu” dari dokter spesialis dan konsultan yang ditunjuk pengacara atau pasiennya.

Terus terang, selalu ada keraguan: bagaimana kalau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi saat persidangan? Contohnya, mungkin pasien tiba-tiba pingsan akibat kondisi kesehatannya, atau bahkan hal-hal serius lainnya. Bukankan tujuan utama merawat pasien dengan disabilitas parah adalah untuk menyembuhkannya dan bukan membawa mereka ke ranah hukum? Itulah dilema yang dihadapi oleh penyidik maupun jaksa ketika melihat surat medis tersebut.

Oleh karena itu, selama lebih dari satu dekade, KPK telah menuntut agar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merancang tim Second Opinion KPK-IDI. Dikenal sebagai Tim Second Opinion berkat fungsinya utama yaitu memberi pandangan alternatif atas diagnosa yang diberikan oleh dokter pribadi --dipilih oleh pengacara-- terhadap tersangka tersebut. Sebelum melanjutkan pembicaraan ini, penting untuk dipahami bahwa ada perbedaan dalam peranan para dokter. Dokter yang bertugas merawat pasien umumnya diistilahkan "treating doctor". Di sisi lain, dokter anggota Tim Second Opinion --komposisinya ditentukan bersama antara KPK dan IDI-- dinamakan "assessing doctors". Oleh karenanya, tugas mereka hanya berkonsentrasi pada proses evaluasi serta peninjauan ulang, bukan melakukan penyembuhan langsung.

Sebanyak 13 tahun, penulis diangkat menjadi Ketua Tim Second Opinion KPK-IDI, dengan Prof DR Agus Purwidiarto SH menjabat sebagai Wakil Ketua.

Tim Second Opinion kami kemudian membentuk kelompok kerja bersama ahli-ahli khusus yang berhubungan dengan penyakit yang dicurigai. Namun, satu hal yang pasti, dalam tim ini selalu terdapat seorang psikiater serta neurolog (spesialis). neuro-behaviour ).

Perlu dicatat bahwa tim Second Opinion atau dokter penilai ini terbentuk sesuai dengan diagnosa yang telah ditentukan oleh tim dokter perawat yang merawat pasien. Misalkan jika kasus tersebut berkaitan dengan kondisi jantung, maka ahli jantung akan dipilih sebagai anggota dari tim Second Opinion. Ini bukanlah pilihan sembarangan atau hanya didasari pada ketersedian sang dokter. Tetap penting untuk menjaga profesionalitas dalam hal ini.

Fokus Berikut informasi tambahan: Biasanya ada beberapa hal yang dapat mempersulit hadirnya tersangka di persidangan seperti contohnya stroke; apalagi bila stroke tersebut cukup parah. Dalam kasus stroke serius, korban kemungkinan besar akan mengalami kesulitan dalam berbicara atau bahkan tidak sepenuhnya memahami dakwaan serta hukuman akibat tindakannya jika nantinya divonis bersalah. Bila situasinya demikian, maka tentu saja penyakit tersebut membuat tersangka "tidak layak untuk diproses". Sedangkan bagi mereka dengan stroke ringan, proses sidang tetap bisa dilanjutkan meskipun mungkin sedikit lebih kompleks. Tim Second Opinion memiliki fokus utama pada tiga bidang yaitu pemeriksaan fisik, pengecekan fungsi neurologis dan analisis psikiatrisme saat melakukan evaluasi medis kepada saksi ahli. Proses ini umumnya dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo karena merupakan pusat rujukan tingkat nasional. Namun sekalipun begitu, tes pun telah dilakukan secara sporadis di tempat lain termasuk Bandung, Surabaya, Ternate, dan Papua.

Setelah tim menyelesaikan serangkaian pemeriksanaan mereka akan menyusun laporannya bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hasilnya umumnya disebut "fit for trial", meskipun ada kalanya dinyatakan sebagai "unfit". Perlu dicatat bahwa beberapa kondisi medis seperti diabetes melitus (DM) dan tekanan darah tinggi merupakan situasi jangka panjang; jika dikendalikan dengan tepat, hal tersebut tidak akan mencegah seseorang dari menjalankan tugas atau tanggung jawabnya. Ini pun berlaku pada individu yang menjadi calon pemimpin suatu wilayah.

Selama penyakitnya dapat dikendalikan dengan baik dan indikator kesehatannya menunjukkan bahwa kondisinya tidak akan menghambat penampilan prestasi yang optimal selama lima tahun mendatang, tak ada alasan untuk mencabut status pencalonannya. Begitu pula dengan kasus seseorang yang dituding sebagai tersangka. Bahwa orang tersebut menderita diabetes, hipertensi, atau penyakit jantung—bahkan jika harus menjalani hemodialisis—bukan berarti ia layak dianggap tidak sesuai untuk diproses persidangan.

Indikatoor Psikiatri Amat Penting

Kembali ke panduan dari The Schizophrenia Society of Ontario tersebut di atas, penting untuk dibedakan antara kemampuan untuk mengikuti persidangan, dengan kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap tindak kejahatan yang dituduhkan. Ada orang yang setelah menjalani pemeriksaan dinyatakan sanggup untuk menjalani persidangan, namun dalam pemeriksaan lanjutan didapati bahwa dia tidak sepenuhnya menyadari tindakan yang dilakukan serta konsekuensi dari tindakannya tersebut. Dalam kasus seperti ini pengadilan akan memutuskan yang bersangkutan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya.

Dewasa ini bidang psikiatri sudah mencapai banyak kemajuan dan berbagai instrument luar biasa untuk menetapkan boleh-tidaknya seseorang diajukan ke pengadilan. Jadi sebenarnya hampir tidak ada celah bagi seseorang untuk lepas tanggungjawab dari perbuatan melanggar hukum yang dia lakukan.

Mantannya, agar dapat dijuluki "layak diproses", harus membuktikan bahwa mereka memiliki kemampuan analisis yang kuat. Namun saat ini, hanya dengan mempunyai pengetahuan dasar tentang undang-undang yang melingkupi kasus mereka saja, seseorang telah dikategorikan sebagai individu yang siap menghadapi persidangan. Tidak lagi diperlukan kepemilikan wawasan luas atau penguasaan detail-detail hukum oleh para tersangka tersebut. Yang penting adalah adanya kesediaan dalam memahami prinsip-prinsip fundamental berkaitan kasus serta mampunya melakukan komunikasi efektif. Singkatnya, standar kapabilitas mental yang ditetapkan pun menjadi lebih rendah dari masa lalu.

Secara keseluruhan, lepas dari jebakan hukum karena alasan penyakit bukan hal yang mudah. Penilaian akhir tentang kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan tindakannya akan ditetapkan melalui hasil pemeriksaan medis oleh ahli jiwa menggunakan metode yang modern dan terpercaya. Lalu pertanyaannya menjadi: pada saat apa seseorang dikategorikan sebagai cukup bugar, agak rentan, atau tak layak muncul di pengadilan? Dan siapa yang memiliki wewenang untuk mengklasifikasikan kondisi itu?

Yang pertama harus diingat adalah bahwa evaluasi tentang keadaan psikologis dari seseorang yang dicurigai dapat dilaksanakan pada waktu apa pun mulai dari saat ditahan sampai putusan hukumannya keluar. Namun, umumnya laporan lengkap dan akhir ini disiapkan begitu proses sidang resmi berlangsung. Lalu hasil pemeriksaaannya cenderung dibagikan dalam suatu sesi spesial sebelum persidangan benar-benar dimuali.

Pada artikel "Legal medicine: assessing mental capacity dan menulis laporannya untuk aplikasi wali" (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/artikel/PMC5331122/), dijelaskan bahwa ada berbagai elemen krusial yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian untuk keperluan persidangan, tidak hanya catatan medis standar. Salah satunya adalah interval antara prosedur evaluasi dan pembuatan laporan tersebut.

Kedua, ada dua elemen utama yang memengaruhi penilaian ini yaitu: (1) tingkat keakraban antara dokter dan tersangka, seperti lamanya waktu dokter telah mengenal tersangka; frekuensi kunjungan tersangka kepada dokter selama bertahun-tahun belakangan; serta kapan kali terakhir tersangka dirawat oleh dokter tersebut. Selanjutnya (2) apakah situasi yang dihadapi tersangka bersifat sementara atau jangka panjang.

Agar dapat menentukan kemampuan mental seseorang dan memverifikasi apakah mereka siap menghadapi proses sidang, para dokter harus menjalankan sejumlah uji. Para dokter dituntut untuk ekstra hati-hati saat menggunakan alat-alat uji tersebut, menyusun data-data tambahan sebagai dukungan dalam membuat keputusan akhirnya. Hal itu mencakup pemeriksaan rutinitas harian dari tersangka juga hindari gunakan terminologi kedokteran yang rumit sehingga laporannya nanti bisa dipahami oleh pengacara, hakim, jaksa penyidik dan orang-orang lain tanpa memiliki dasar ilmu medis.

Berdasarkan informasi diatas, terlihat jelas bahwa jika dibandingkan dengan spesialis atau subspesialis lainnya, psikiater berperan sebagai pemimpin dalam tim Second Opinion. Psikiater lah yang nantinya akan melakukan pemeriksaan serta mengambil keputusan tentang kelayakan seseorang untuk melanjutkan proses pengadilan beserta kemampuannya untuk menjalaninya. Sebab hal penting yang dicek selain aspek fizikal adalah status mental subjek tersebut, yaitu apakah mereka menderita demensia atau tidak.

Ada berbagai jenis gangguan mental, termasuk penurunan fungsi kognitif normal seiring bertambahnya umur (yang biasanya hanya membuat pikiran bekerja sedikit lebih lambat tanpa mengubah tingkat kecerdasan secara keseluruhan), disfungsi kognitif lemah (mild cognitive impairment atau MCI), sampai dengan derajat yang parah yaitu demensia (dari ringan hingga berat). Proses diagnosis setiap level ini cukup kompleks dan membutuhkan metode pengukuran spesifik serta kompetensi ahli tertentu dalam evaluasi tersebut.

Terkadang hal tersebut masih menjadi masalah walaupun tim Second Opinion telah mengonfirmasi bahwa pasien atau tersangka cukup bugar untuk menjalani persidangan, saran mereka tak selalu diterima oleh tim hakim. Meski jarang, kasus seperti itu memang pernah dialami. Secara teknis, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tim Second Opinion hanya memiliki tanggung jawab memberikan penilaian, namun keputusan final tetap ada di pihak hakim.

Refleksi Pengalaman 13 Tahun

Tiga belas tahun merupakan jangka waktu cukup lama. Selama periode tersebut, penulis telah mengumpulkan banyak pengalaman saat memimpin tim Second Opinion KPK-IDI. Di bawah ini terdapat sejumlah catatan yang bisa memberikan manfaat bagi perkembangan kerja tim ini.

Pertama-tama, kerjasama yang efektif amat dibutuhkan. Ini meliputi komunikasi tidak hanya antar anggota tim saja, tapi juga dengan pihak Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendapatkan catatan kesehatan dari orang yang dicurigai. Selain itu, perlu ada kolaborasi dengan Dewasaha Peradilan Dokter (IDI) lokal tempat kejadian berlangsung. Sebagai contoh, bila pencurigaian tersebut menyangkut seorang pegawai negeri di Jawa Timur, maka IDI cabang Jawa Timur pun wajib dimintai pertolongannya.

Di samping itu, berkoordinasilah pula dengan dokter perawat yang merawat tersangka; hal ini penting untuk dilakukan meski mungkin kurang menyenangkan. Ini menjadi catatan keduanya, di mana situasinya dapat cukup "memukau".

Tentu saja, tim Second Opinion tidak dapat melakukan pekerjaan atau memberikan penilaian tanpa memiliki informasi yang tepat dan akurat. Dokumen seperti resume riwayat medis sangat krusial; akan tetapi, hal ini menjadi tantangan sebab kadang-kadang rumah sakit tempat tersangka dirawat enggan untuk menyediakan dokumen tersebut dengan mudah.

Sering kali setelah menantikan cukup lama, yang tersedia hanyalah sebagian kecil informasi. Ini berarti bahwa tim Second Opinion harus bekerja ekstra untuk mengumpulkan data kesehatan, hasil lab, dan hal-hal serupa dari klien mereka. Proses ini kadang-kadang bisa sangat panjang. Mungkin butuh waktu dua sampai tiga bulan atau lebih baru mulai melihat datanya keluar sedikit demi sedikit. Tiap kasus memiliki tantangan sendiri-sendiri dan jujur saja, semuanya tidaklah mudah.

Sejak tim Second Opinion tidak berfokus pada pengobatan, maka bila informasi yang disajikan telah mencukupi untuk memutuskan kondisi seseorang tersebut, layak atau tidak layak untuk diadili Data yang sangat komprehensif sudah tidak dibutuhkan lagi. Hal ini sungguh penting pada zaman saat ini, terlebih ketika pemerintahan sedang mengurangi banyak alokasi dana di berbagai lembaga negara. Intinya adalah bahwa apabila informasi telah cukup untuk membuat keputusan, maka sudah cukup. Tidak perlu data tambahan atau pemeriksaan lain yang akan menelan biaya ekstra.

Salah satu pengalaman mengesankan selama menjadi bagian dari tim Second Opinion terjadi saat kami bertemu dengan seorang pasien yang pura-pura sakit dan seolah-tidak mampu berkomunikasi, termasuk dalam hal sederhana seperti duduk. Tantangan bagi tim Second Opinion di situ adalah untuk memastikan bahwa keadaan pasien sesungguhnya bukanlah apa yang tampak pada awalnya.

Cara kerjanya adalah sebagai berikut: jika sudah disepakati bahwa inspeksi akan dilaksanakan di sebuah rumah sakit, maka tim tersebut akan meminta agar kamera pengawasan dipasang di dalam ruangan perawatan. Meskipun tidak selalu demikian, ada kalanya hal itu terjadi. Tentunya semua tindakan ini dilakukan dengan mengetahui tim penasehat hukum dari tersangka serta keluarganya. Umumnya mereka cukup bersedia bekerja sama.

Apa tantangan selanjutnya bagi tim Second Opinion? Meskipun memiliki pengalaman luas, sepertinya pekerjaan mereka tak menjadi lebih mudah. Dengan melihat laporan-laporan baru-baru ini dari berbagai media nasional maupun internasional, tampak bahwa jumlah perkara berkaitan korupsi semakin meningkat. Oleh karena itu, dibutuhkan tempat diskusi bagi para anggotanya agar dapat membuat keputusan secara tepat dan akurat. Kami tidak mempunyai otoritas untuk menentukan seseorang bersalah ataupun tidak. Setelah penyidikan dilakukan pada tersangka serta kesimpulannya ditetapkan, tugas kami sudah selesai. layak atau tidak layak untuk diadili.

Dos and Don’ts

Ada beberapa hal kecil lain yang mungkin dianggap kurang penting, namun untuk saya harus terus diingat selama menjalankan tugas ini. Pertama, siapa pun yang berada pada posisi tersangka yang sedang diperiksa tentu akan merasa tidak nyaman. Untuk itu yang saya lakukan adalah mengenalkan tim dokter KPK-IDI kepada pasien, menjelaskan apa yang akan kami lakukan, dan menyampaikan jika yang bersangkutan merasa lelah ia berhak untuk beristirahat. Prinsipnya kami tidak boleh membuat pasien merasa exhausted, meski ia tersangka.

Kedua, seluruh laporan pengecekan diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna mendukung aspek legalitasnya. Ketiga, para anggota dari Tim Second Opinion harus menyertakan Surat Tanda Daftar (STD) serta Surat Persetujuan Berpraktek (SPB) yang aktif sampai proses penilaian dijalankan. Akhirnya, model penyaksian pakar "perorangan" tidak umum sesuai dengan Perjanjian Kerjasama (MoU) antara IDI dan KPK, sebab biasanya kerja sama tersebut melibatkan kelompok atau tim. Mudah-mudahan informasinya berguna.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url




sr7themes.eu.org