Filantropi Umat Beragama: Jawaban bagi Pendanaan Iklim di Indonesia

JAKARTA, Radarinfo Dalam situasi di mana permintaan dana untuk iklim Indonesia terus meningkat dan dinamika politik internasional menjadi kurang stabil, Filantropi Islam hadir sebagai salah satu opsi pembiayaan alternatif.
Dewan Penasehat MOSAIC Abdul Gaffar Karim menggarisbawahi potensi dana alternatif yang bisa diproduksi oleh masyarakat berbagai agama lewat kegiatan filantropi serta program pembiayaan bertaut dengan prinsip Syariah.
"Islamic philanthropy seperti wakaf mempunyai potensi pembiayaan mencapai 180 triliun rupiah yang dapat diarahkan sebagai sumber daya bagi tindakan terkait perubahan iklim," ungkapnya dalam keterangan pers yang diperoleh Radarinfo , Minggu (18/5/2025).
Dalam rangkaian kegiatan Tri Hita Karana Dialogue "Membuka Kunci Miliaran: Mengakses Aliran Tersembunyi untuk Ketahanan Iklim" di Jakarta (15/5) yang digagas oleh United in Diversity, Tri Hita Karana Forum, Purpose serta MOSAIC (Muslims for Shared Action on Climate Impact), Abdul Gaffar menyatakan bahwa ada potensi dari instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip Syari'ah semacam itu. Green Sukuk juga bisa jadi pilihan karena menumpukan fokusnya pada proyek-proyek yang ramah lingkungan.
"Kerjasama dengan bidang keuangan sangatlah vital untuk mengubah rencana menjadi tindakan terkait perubahan iklim yang konkret," jelasnya.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran di Kementerian Keuangan tahun 2022, diperkirakan Indonesia akan membutuhkan pembiayaan rata-rata tiap tahunnya antara 266,3 Triliun Rupiah hingga tahun 2030.
Namun, tantangan di tingkat nasional dan global, termasuk keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Paris Agreement, mengancam upaya pendanaan, yang menyebabkan kehilangan dana untuk transisi energi Indonesia melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP).
Meskipun demikian, Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat JETP Indonesia, mengungkapkan keyakinan bahwa hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan.
"Indonesia mendapatkan komitmen pendanaan dari berbagai sumber seperti dari Jerman untuk proyek-proyek transisi energi," sambung Paul.
Dia juga menyoroti pentingnya memasukkan elemen sosial dan lingkungan, sekaligus mengingatkan bahwa saat merancang pembiayaan iklim di masa mendatang perlu lebih fokus pada tahap persiapan proyek.
Pada kesempatan serupa, Burkhard Hinz, Direktur KfW atau Bank Pembangunan Jerman di Indonesia, menyebut bahwa organisasinya sudah meluncurkan instrumen surat utang berkelanjutan bernama green bonds dengan total dana sebesar 100 Miliar Dolar AS guna mendukung proyek-proyek terkait perubahan iklim dalam skala global.
"Dana tersebut dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur yang berkaitan dengan mitigasi krisis iklim, seperti pengembangan sistem transportasi publik dan manajemen limbah," jelasnya.
Felia Salim, Eksekutif Tinggi Bidang Ekonomi di Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP), menyebutkan bahwa dana untuk proyek-proyek lingkungan seharusnya tidak hanya mencakup unsur inklusivitas dan berkelanjutan tetapi juga perlu menunjukkan potensi laba finansial. bankable.
"Sektor syariah berpotensi mengisi ceruk tersebut karena prinsipnya yang inklusif namun juga tidak mengesampingkan keuntungan finansial," imbuhnya.
Sementara itu Longgena Ginting, Country Director Purpose, menggarisbawahi pendanaan iklim global belum cukup memperhatikan komunitas lokal dan masyarakat adat.
"Kurang dari satu persen dari dana iklim diarahkan kepada mereka, padahal masyarakat akar rumput memiliki peran penting dalam mitigasi risiko krisis iklim sebagai penjaga keanekaragaman hayati," ujarnya.
Prof. Jatna Supriatna, anggota Dewan Pengawas Fondasi Keberagaman Bersatu, berpendapat bahwa permasalahan iklim tidak bisa dipahami hanya dari aspek lingkungan saja.
"Krisis iklim adalah problem sosial ekonomi dan kemanusiaan," tandas dia.