Debat Pro Kontra Perubahan KUHAP: Dari Tugas Penyidik Sampai Larangan Liputan Sidang

Radarinfo , JAKARTA -- Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini tengah mendiskusikan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau disingkat KUHP. Penyempurnaan aturan tersebut bakal memengaruhi sistem tatacara peradilan serta mekanisme penegakan hukuman pada kasus-kasus yang ada.

Puan Maharani, Ketua DPR, mengatakan bahwa parlemen tidak akan buru-buru dalam mendiskusikan perubahan KUHAP. Ia berkomitmen untuk memastikan segala saran yang diberikan oleh berbagai pihak di masyarakat ikut dipertimbangkan.

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, legislator nantinya juga akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset setelah revisi KUHAP dituntaskan.

"Sesudah itu, kami akan memulai proses penyerahan harta. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan pendapat dan saran dari semua pihak," jelasnya di komplek parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Rabu, 7 Mei 2025.

Pada bulan Maret 2025 yang lalu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menyatakan bahwa mereka bertujuan untuk menyelesaikan proses peninjauan ulang terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kurun waktu maksimal dua periode sesi parlemen.

Komisi III DPR bertujuan agar proses diskusi mengenai perubahan pada Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau KUHAP selesai dalam batas dua periode sidang.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut mengatakan bahwa Komisi Hukum DPR percaya pembahasan revisi KUHAP dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Terlebih lagi, Kode Penjerahan Hukum Pidana atau KUHP terbaru akan diberlakukan pada tanggal 2 Januari 2026.

"Bila memungkinkan, sebaiknya tidak melebihi dua kali masa sidang. Jadi jika hanya dua kali masa sidang, Insyaallah semuanya sudah siap ya teman-teman," katanya saat berada di Gedung DPR, Jakarta, pada hari Kamis, 20 Maret 2025.

Masukan KPK

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, mengajukan beberapa saran terkait Rancangan Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana atau disingkat KUHAP.

Instansi anti-korupsi tersebut masih mengacu pada KUHAP, namun juga menaati UU No 19/2019 tentang KPK serta menerapkan prinsip lex specialis saat melaksanakan proses penyelidikan, penyidikan hingga pengaduan ke pengadilan.

Johanis mengatakan bahwa ada berbagai aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam penyempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, aturan untuk melaksanakan hukum acara pidana tersebut berasal dari masa Orde Lama dan masih diaplikasikan di zaman pasca-reformasi.

"Sekarang ini dalam era reformasi perkembangan dari berbagai aspek kehidupan semakin meningkat, seiring dengan hal tersebut. Sudah saatnya kita mengubah UU KUHAP untuk mengikuti perkembangan zaman saat ini dan ke depan," ujarnya kepada wartawan, dikutip Minggu (1/6/2025).

Johannis menunjukkan bahwa minimal terdapat lima elemen yang perlu dimasukkan dalam penyempurnaan tersebut. Pertama, Syarat pendidikan minimum untuk penyelidik dan penyidik di KPK ternyata memiliki ketidakseimbangan dibandingkan dengan persyaratan bagi seorang advokat, jaksa, atau hakim. Menurut pimpinan KPK yang berasal dari kalangan jaksa, penyelidik dan penyidik umumnya latar belakangnya adalah kepolisian dan tidak dianjurkan untuk menempuh pendidikan sarjana dalam bidang hukum.

Karena itu, dia menganggap bahwa inspektur dan investigator dari berbagai institusi kepolisian harus memiliki minimal gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum.

"Maka semua pegawai penegak hukum yang memiliki latar belakang pendidikan Sarjana dalam bidang Ilmu Hukum. Pada saat ini, penyelidik dan penyidik sebaiknya bukan berasal dari jurusan tersebut, sementara advokat, jaksa, dan hakim telah diwajibkan untuk mempunyai gelar Sarjana Ilmu Hukum," jelasnya.

Kedua , menghilangkan penyidik pembantu. Ketiga, petunjuk rinci tentang masa tunggu untuk investigasi agar terjamin kejelasan hukumnya.

"Demikian pula dengan batas waktu untuk pemeriksaan persidangan, perlu ditentukan secara jelas dan tegas supaya terdapat kejelasan hukum bagi para pencari keadilan," katanya.

Keempat , aturan yang jelas dan tegas tentang batas waktu untuk menangani kasus pada fase penuntutan. Kelima Pengaturan tentang perlindungan bagi pemberi informasi mengenai dugaan tindakan kriminal kepada aparat penegak hukum.

"Sementara itu, ada banyak hal lain yang tetap harus ditentukan," terangnya.

Sorotan AJI

Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyampaikan keprihatinan terkait adanya usulan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP) yang dinilai bisa mengganggu kemerdekaan media.

Dia menjelaskan bahwa pasal tersebut mengacu pada peraturan yang mewajibkan persidangan berlangsung tertutup, artinya tanpa siaran langsung atau apabila disiarkan maka harus mendapatkan izin sebelumnya dari Ketua Pengadilan.

" Kami menilai hal tersebut mengganggu pekerjaan jurnalistik yang seharusnya bersifat transparan. Kita perlu memahami apa yang terjadi di dalam [pengadilan], " ujarnya setelah berpartisipasi dalam rapat dengan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, di komplek parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (8/4/2025).

Oleh karena itu, Nany beserta anggota-anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk perubahan Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP) menuntut agar DPR mencabut dan jika memungkinkan menghilangkan proposal tersebut.

Menurutnya, kasus-kasus seperti suap dan pembunuhan terrencana adalah masalah publik yang penting, sehingga orang-orang memiliki hak untuk mengetahui bagaimana jalannya persidangan tersebut.

"Selain jika pengadilan mengenai kekerasan seksual kemungkinan besar bersifat tertutup dan kami memiliki kode etik terkait hal tersebut. Saya kira jurnalis tentu memahami ini dan tidak akan mengeksposnya. Namun, untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik, kami pastinya tetap perlu melakukan peliputan," jelaskannya.

Sekarang, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Sura Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang menyarankan untuk memasukan pasal tentang peliputan langsung yang dilarang ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP).

Juniver menyarankan pada Pasal 253 ayat 3 untuk memberikan klarifikasi tentang arti penerbitan prosedur pengadilan. Dia berpendapat bahwa seharusnya terdapat larangan siaran langsung selama sidang, dan hal tersebut penting untuk disahkan.

Mengapa perlu ada kesepakatan tentang hal ini? Karena dalam sidang pidana yang diliput secara langsung, para saksi memiliki kemungkinan untuk mendengarkan satu sama lain, berpotensi dipengaruhi, bahkan mungkin mencontek informasi. Oleh karena itu, kami sepakat dengan aturan tersebut," katanya saat menghadiri acara di Gedung DPR RI pada hari Senin, 23 Maret 2025.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url




sr7themes.eu.org

Telegram

Instagram

Twitter

WhatsApp

Contact